Melalui RRI, PKI berhasil menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota "Dewan Jenderal" yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.
Selain itu, diumumkan pula terbentuknya suatu "Dewan Revolusi" yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 Presiden Soekarno beserta Sekretaris Jenderal PKI Aidit menganggap jika pembentukan Dewan Revolusi adalah bentuk upaya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.
Pemerintah kemudian memutuskan untuk mendapatkan perlindungan serta berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim yang berlokasi di Jakarta.
Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan tersebut kemudian dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
Lima bulan kemudian, pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret.
Beliau memerintahkan kepada Soeharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI.
PKI dilarang berada dan juga tumbuh di wilayah Indonesia.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Soekarno dipertahankan sebagai Presiden Tituler Diktatur Militer sampai Maret 1967.
Setelah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
(Tribunnews.com/Latifah)(Gramedia.com)