Kedua, KHDPK memulihkan kerusakan hutan di Jawa.
Setidaknya, setengah juta hektar hutan yang gundul di Jawa, saat ini telah pulih dengan 60 hingga 70 persen.
Hal itu terjadi karena lahan hutan tersebut dikelola oleh masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial.
Sebagai contoh, kawasan hutan seluas 845 ha di desa Besole yang oleh Perhutani dibiarkan gundul selama bertahun-tahun, kini sebagian telah ditanami tanaman kayu berbagai jenis seperti sengon, jati, cengkeh, alpukat dan tanaman pertanian seperti pisang, singkong dan lain sebagainya.
Sehingga saat ini, 70 persen telah berpenutupan hutan.
Sedangkan di Pasuruan, lahan hutan seluas 34 ha yang bertahun-tahun dibiarkan gundul, saat ini telah berhasil ditanami oleh masyarakat dengan tanaman kayu pinus dan kayu lokal seperti sukun, klampok, nangka serta tanaman buah seperit jambu, jeruk, lengkeng dan kopi.
Ketiga, KHDPK meningkatkan produktifitas lahan. Perhutani kami nilai tidak optimal dalam menjalankan usahanya.
Produktifitas lahan sangat rendah.
Satu hektar lahan tiap tahun hanya menghasilkan pendapatan 1 juta rupiah dengan keuntungan antara sekitar seratus ribu rupiah saja.
Hal ini jauh dari produktifitas hutan rakyat yang dimiliki oleh petani maupun areal Perhutanan Sosial yang dapat memperoleh keuntungan jutaan rupiah tiap tahun.
Selain memulihkan kondisi hutan Jawa, KHDPK juga dapat menghentikan relasi menindas antara Perhutani dan masyarakat desa hutan yang selama ini mengalami kekerasan, teror, dan perbudakan.
Keempat, KHDPK menyelesaikan konflik tenurial hutan Jawa. Di Jawa, saat ini terdapat 5.000 lokasi seluas 107.334 hektar areal hutan yang dipergunakan masyarakat sejak jaman kolonial Belanda, dimana 35 persen untuk pertanian dan 65 persen berwujud pemukiman penduduk.
Selama ini, para pemukim tidak memiliki kejelasan status kepemilikan atas tanahnya.
Sehingga, mereka mengalami kerentanan serta sering mendapatkan ancaman dan label sebagai ‘penghuni liar’.