Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi mengungkapkan dalam beberapa tahun terakhir, presentase masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental meningkat.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, prevalensi Rumah Tangga dengan anggota menderita gangguan jiwa skizofrenia meningkat dari 1,7 permil menjadi 7 permil di tahun 2018.
Gangguan mental emosional pada penduduk usia dibawah 15 tahun, juga naik dari 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk (Riskesdas 2013) menjadi persen atau sekitar 20 juta penduduk.
''Kondisi ini diperburuk dengan adanya COVID-19. Saat pandemi, masalah gangguan kesehatan jiwa dilaporkan meningkat sebesar 64,3 persen baik karena menderita penyakit COVID-19 maupun masalah sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi,'' ungkap Endang pada keterangan resmi, Jumat (15/10/2022).
Makin tingginya presentase masalah kesehatan jiwa, lanjut Endang, disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satunya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga psikolog yang masih kurang.
''Kita juga melihat dari data-data pelayanan yang ada, saat ini baru sekitar 50 persen dari 10.321 unit Puskesmas kita yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa,'' ujar Dirjen Endang.
Sementara sisanya belum memiliki layanan kesehatan jiwa. Pun dengan layanan kesehatan jiwa di RS, jumlahnya juga belum merata.
Baca juga: Benarkah Stres karena Kurang Ibadah? Ini Penjelasan Psikiater
Masih ada 4 provinsi yang belum memiliki RS Jiwa dan baru 40 persen RS Umum yang ada fasilitas pelayanan Jiwa.
Berbanding lurus dengan ketersediaan pelayanan kesehatan jiwa di fasyankes dan Puskesmas, jumlah psikiater yang ada saat ini belum mencukupi.
Rasio psikiater di Indonesia masih sangat timpang yakni 1:200.000 penduduk. Artinya setiap 1 psikiater harus melayani 200.000 penduduk.
Rasio ini masih jauh dari standar WHO yang mensyaratkan rasio psikiater dan jumlah penduduk idealnya 1:30.000.
Tidak hanya dari sisi jumlah, sebaran psikiater juga belum merata. Masih terkonsentrasi di kota-kota besar saja.
''Untuk itu peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia menjadi momentum penting untuk memperkuat jejaring layanan kesehatan Jiwa mulai dari tingkat masyarakat, Puskesmas sampai RS Rujukan,'' kata Endang lagi.
Jejaring tersebut, lanjut Endang merupakan bagian dari transformasi layanan rujukan yang yang bertujuan untuk memperluas sekaligus mempermudah akses masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa.
''Kita butuh kerja sama yang kuat, karena kalau hanya mengandalkan jumlah psikiater yang ada, (penanganan kesehatan mental) akan membutuhkan waktu yang lama. Sehingga kita harus membuat terobosan, bagaimana caranya supaya beban kesehatan jiwa bisa kita atasi dengan jejaring yang ada saat ini,'' tutup Endang.