Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransikus Adhiyuda Prasetya
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan permohonan judicial review UU Nomor 7 tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah ini ditempuh ditempuh karena berangkat dari kondisi yang belum ideal terkait daerah pemilihan (Dapil).
Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati juga menjawab soal pertanyaan banyak pihak kenapa Perludem memilih jalur MK.
"MK merupakan jalur yang tepat dalam mempertanyakan produk hukum yang kurang pas dalam undang-undang," kata Khoirunnisa saat dialog bertajuk 'Berebut Kursi Parlemen Melalui Penataan Dapil dan Alokasi Kursi' yang dibawakan oleh Arief Budiman dan Hadar Nafis Gumay secara virtual di studio Tribun Network Jakarta, Rabu (26/10/2022).
"Nah kenapa enggak kasihnya ke DPR atau pemerintah sebagai pembuat UU.
Baca juga: Perludem Sarankan KPU Kaji Ulang Pengadaan Kendaran Taktis Maung Pindad untuk Pemilu 2024
Nah sebetulnya itu kan bukan yang tidak kami coba gitu ya, kita selalu mencoba, ketika ada ruang merevisi undang-undang Pemilu, ruang itu selalu kita gunakan," kata Khoirunnisa.
Khoirunnisa juga menyebut, pihaknya juga mengadvokasi isu pemilihan daerah yakni ketika ada revisi undang-undang Pemilu yang selalu dibahas itu lebih kepada besaran dan jumlah kursi di Dapil.
"Magnitutnya ini mau 36 apa mau 3 sampai 8, mau 3 sampai 10, dan itu pun sifatnya politis kan," ucapnya.
"Karena fraksi-fraksi di DPR pasti sudah berhitung kalau 3 sampai 6 kursi yang saya dapat berapa, 38 berapa 3-10 berapa. Tapi tidak ada diskusi atau mungkin jarang sekali diskusi soal tadi memastikan representasi, secara proporsional gitu ya," sambungnya.
Selain itu, ia juga mentoroti tidak pernahnya isu yang didiskusikan secara intensif ketika pembahasan undang-undang Pemilu. Yakni, soal pembahasan undang-undang mau terbuka mau tertutup, ambang batas parlemen yang naik dan turun.
Padahal, kata Khoirunnisa, diskusi soal itu terus menjadi pembahasan ketika memunculkan revisi UU Pemilu.
"Kita melihat lalu ini mau mau sampai kapan kan seperti ini, kita apalagi di periode sekarang revisi untuk undang-undang Pemilu kan tidak dilakukan ya. keputusannya tetap pakai produk yang menggunakan undang-undang yang lama," terangnya.
Tak hanya itu, momentum sebenarnya misalnya contoh soal kursi DPRD provinsi. Apalagi, DPRD provinsi sekarang juga masuk sebagai lampiran undang-undang Pemilu.