Maskuri, mewakili Ikosindo menjelaskan bahwa anggota Ikosindo terdiri dari 150 koperasi.
“Koperasi lebih tua dari perbankan dan koperasi adalah usaha bersama berasas kekeluargaan. Saya lebih condong koperasi dibuat hanya dengan satu UU saja,” ujar Maskuri.
Ali Hamdan, Forum Koperasi Jawa Timur juga menyampaikan pendapatnya.
“Kita punya anggota 2300 koperasi. Kita kemarin menyepakati 10 poin yang pada intinya 2 ada hal. Permintaan kami menolak pasal 191, 192 dan pasal 198. Koperasi tetap di ranah KemenkopUKM dan ancaman pidana harus proporsional. Sehingga kita tegas meminta hapuskan 3 pasal dari RUU PPSK” tegas Ali Hamdan.
Frans Meroga, Ketua KSP Nasari memberikan pernyataan senada dengan anggota Forkopi yang lain.
Ia menolak tegas rencana seluruh perijinan dan pengawasan koperasi dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ia mengatakan jangan sampai RUU PPSK bila nanti menjadi UU akan kembali dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
“RUU PPSK ini terlalu banyak ketidak sesuaian bila ditinjau dari landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Bahkan cenderung ugal-ugalan, jadi apabila tetap dipaksakan menjadi UU pasti akan kembali dibatalkan oleh MK. Bahkan bila perlu, kami jadi pihak pertama yang mengajukan judicial review ke MK,” kata Frans yang juga Ketua Umum Angkatan Muda Koperasi Indonesia (AMKI).
Menkop Satu Pemikiran dengan Forkopi
Menanggapi seluruh sikap Forkopi, Menteri Teten menegaskan bahwa ia memiliki pemikiran yang sama dengan dengan Forkopi.
“Koperasi ini adalah antitesa terhadap kapitalisme,” ujar Teten membuka pernyataan.
Menurutnya koperasi terus berkembang dan secara ide terus tumbuh.
“Fakta baru 8 persen masyarakat kita berkoperasi. Koperasi jika kalah bersaing maka koperasi akan terus mengecil,” ujarnya.
“Koperasi itu self regulation dan self control. Di koperasi sudah ada sistem pengawasan internal,” tegas Teten.