TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta menyatakan, pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme (TPPT) pada saat ini, agar bentuk pengawasan lebih efektif.
Ia berujar, TPPT telah disusun melalui Rancangan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme di DPR RI.
Pasal 43 J Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang mengamanatkan DPR RI membentuk Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.
Rancangan Peraturan DPR RI tersebut antara lain mengatur mengenai pembentukan atau susunan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Tim, Hak dan Kewajiban, serta Mekanisme Kerja.
"Kami dalam hal ini menanggapi secara positif pembentukan TPPT dan Rancangan Peraturan DPR RI tersebut sebagai salah satu cara untuk melakukan pengawasan secara lebih efektif terhadap penyelenggaraan Penanggulangan Terorisme oleh Penyelenggara Penanggulangan Terorisme yang sesuai dengan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," kata Sudirta kepada wartawan, Selasa (15/11/2022).
Rangkaian tindakan Penanggulangan Terorisme tersebut meliputi Pencegahan (kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi), Pemberantasan (Penindakan dan Penegakan Hukum), dan Pelindungan terhadap Korban (Pemulihan Hak Korban).
"Selama ini, Komisi III DPR RI telah melakukan fungsi pengawasan terhadap para mitra kerja yang berwenang dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)," terang Sudirta.
Baca juga: Komjen Pol Boy Rafli: Lawan Terorisme Melalui Pertahanan Semesta
Namun begitu, ucap Sudirta, Komisi III mendengar banyaknya aspirasi dari masyarakat yang mempersoalkan berbagai hal yang masih sering terjadi seperti: penanganan atau penindakan yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), kurang efektifnya program deradikalisasi, dan pemulihan hak Korban Terorisme yang masih sering terkendala aturan.
"Mengenai Program Pemulihan Korban Terorisme, kami melihat bahwa saat ini telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban," imbuh Sudirta.
Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Perlindungan Saksi dan Korban).
PP tersebut kemudian juga telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Tindak Pidana Terorisme).
"Kami mendengar bahwa PP Nomor 7 Tahun 2018 pada prakteknya masih memberikan persoalan di lapangan dalam pemberian Kompensasi Korban Terorisme," tambah Sudirta.
Pada Pasal 18 PP Nomor 35 Tahun 2020 diatur mengenai Pemberian Kompensasi bagi Korban Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Pasal 44B mengatur mengenai Pemberian Bantuan Medis, Rehabilitasi Psikososial dan Psikologis, Santunan, dan Kompensasi bagi Korban Tindak Pidana Terorisme di masa lalu.
"Oleh sebab itu, Tim ini diharapkan akan mampu mengawasi, memantau, dan mengoptimalkan seluruh penyelenggaraan Program Penanggulangan Terorisme, yang termasuk pemulihan korban terorisme di masa lalu," terang Sudirta.