TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M. Syahrir (MS).
Syahrir diketahui telah ditetapkan KPK sebagai tersangka pengembangan kasus suap pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di Kanwil BPN Provinsi Riau.
"Hari ini pemeriksaan tersangka MS (PNS/Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau 2019-2022)," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Kamis (1/12/2022).
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka baru, yakni M. Syahrir, pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya, dan General Manager PT AA Sudarso.
Frank sudah ditahan KPK di Rutan Polres Jakarta Selatan. Sementara Sudarso masih menjalani masa pemidanaan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Dalam konstruksi perkara disebutkan bahwa Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT Adimulia Agrolestari memerintahkan dan menugaskan Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya di tahun 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank.
Selanjutnya Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M. Syahrir yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Sekira Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
Sudarso kemudian menemui Syahrir di rumah dinas jabatannya dan dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh Syahrir sekira Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen hingga 60 persen sebagai uang muka dan Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.
Baca juga: KPK Tetapkan Kepala BPN Riau dan Pemegang Saham PT Adimulia Agrolestari Sebagai Tersangka Suap HGU
Dari pertemuan tersebut, Sudarso lalu melaporkan permintaan Syahrir kepada Frank dan Sudarso kemudian mengajukan permintaan uang 120.000 dolar Singapura (setara dengan Rp1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui oleh Frank.
Sekira September 2021, atas permintaan Syahrir penyerahan uang 120.000 dolar Singapura dari Sudarso dilakukan di rumah dinas Syahrir dan Syahrir juga mensyaratkan agar Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, Syahrir kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar.
Atas rekomendasi Syahrir tersebut, Frank kemudian memerintahkan dan kembali menugaskan Sudarso untuk mengajukan surat permohonan ke Andi Putra dan meminta supaya kebun kemitraan PT AA di Kampar dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
Dilakukan pertemuan antara Sudarso dan Andi dan dalam pertemuan tersebut Andi menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidaknkeberatan atas 20 persen Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya di bangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp2 miliar.
Diduga telah terjadi kesepakatan antara Andi dengan Sudarso dan hal ini juga atas sepengetahuan Frank terkait adanya pemberian uang dengan jumlah tersebut.
Sebagai tanda kesepakatan, sekira bulan September 2021, diduga telah dilakukan
pemberian pertama oleh Sudarso kepada Andi uang sebesar Rp500 juta.
Berikutnya pada 18 Oktober 2021, Sudarso diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada AP dengan menyerahkan uang sekira Rp200 juta.
Atas perbuatannya, Frank Wijaya dan Sudarso sebagai Pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara, M. Syahrir sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.