“Kalau belum ada bukti, seharusnya BPOM tidak perlu membuat panik masyarakat dengan adanya kebijakan yang bisa pro bisa kontra, dan bisa jadi akan mengganggu iklim persaingan usaha dan membuat kegamangan masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, para ahli yang membuat kemasan galon guna ulang tentu sudah sangat memahami soal keamanan kemasan polikarbonat yang berbahan BPA, sehingga direkomendasikan sebagai kemasan AMDK. Karena itu, wacana BPOM untuk melabeli galon guna ulang dengan potensi BPA bukanlah opsi yang bijaksana.
“Karena masyarakat itu asimetris informasi. Banyak orang yang tidak paham utuh tentang apa yang dikonsumsi, tapi mereka memiliki kebutuhan menjadi bahan pokok untuk keseharian,” katanya.
Ia menyebutkan bahwa Peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang kemasan pangan telah mengatur mengenai batas maksimal migrasi senyawa tertentu yang terkandung dalam pengemasan kepada substansi atau materi bahan pangannya.
Namun, semisal hasil riset yang menjadi landasan regulasi tersebut kurang atau bahkan tidak menunjukkan dampak yang serius yang mengganggu kesehatan, Hermawan tidak setuju jika hal ini kemudian menjadi sebuah persoalan.
“Kenapa kita harus memunculkan suatu persoalan atau kebijakan baru? Padahal secara evidence, belum ada laporan resmi, belum ada juga riset yang kuat yang mengatakan bahwa memang pada air minum dalam kemasan galon guna ulang ini berkaitan dengan adanya potensi toksisitas,” katanya.
Ia yakin dalam memproduksi AMDK galon guna ulang, industri juga dilengkapi dengan protokol yang sangat ketat dan sudah melewati tahapan yang sesuai peraturan.
“Jadi, saya kira sekarang tinggal pengawasannya terhadap kesehatan, apakah itu betul-betul berbasis evidence (bukti) atau tidak,” ucapnya.
Pengamat tolak aturan yang membebani masyarakat
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait juga menyampaikan suara yang sama.
Ia pun mengatakan bahwa BPOM tidak seharusnya lebih membebani masyarakat dengan hal-hal seperti wacana pelabelan BPA galon guna ulang tanpa adanya bukti ilmiah terkait kandungan BPA dalam AMDK.
“Mungkin kalau ada satu scientific evidence based yang betul-betul menggegerkan dunia tentang ini, ya boleh saja. Bayangkan saudara-saudara kita yang tidak begitu mengerti tentang apa yang menjadi polemik. Harap berhati-hatilah dalam membuat regulasi dan pikirkanlah dampaknya,” tandasnya.
Ia pun sangat menyayangkan jika kesejahteraan konsumen sebagai tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Persaingan Usaha yang sudah dinikmati masyarakat, tiba-tiba saja menjadi rusuh seperti sekarang.
“Sepertinya itu bukanlah prioritas. Saya harap BPOM lebih memperhatikan regulatory impact assessment ketika mendengungkan suatu pernyataan atau regulasi barunya,” kata Ningrum Natasya Sirait yang juga Pengamat Persaingan Usaha itu.