TRIBUNNEWS.COM - Dalam perspektif UUD NKRI 1945, lembaga-lembaga negara di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib mentaati konstitusi dan berkewajiban menjalankan konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan gender dan ekologis sebagai cita kemerdekaan Indonesia.
Namun, beberapa tahun terakhir ini Aliansi Perempuan Bangkit, sebuah wadah bagi para aktivis dan advokat hak perempuan dari berbagai profesi dan bidang perhatian, mencermati bahwa citra negara hukum HAM dan Demokrasi itu pelaksanaannya semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan.
Kelompok marginal, masyarakat adat, buruh, tani, pekerja rumah tangga, kelompok disabilitas, lansia dan terutama perempuan dan anak, semakin tertinggal jauh di belakang sehingga janji dan komitmen pokok pemerintah Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs yakni “leaving no one behind” makin diragukan mampu dicapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2030 nanti.
Pandemi Covid-19 dan segala variasinya semakin memperburuk kondisi kehidupan rakyat dengan bertambahnya jumlah kelompok miskin atau banyaknya buruh yang di-PHK dan kaum perempuan menderita paling banyak dari kondisi ini.
Sebaliknya di tengah Pandemi, jumlah orang kaya dan super kaya Indonesia malah bertambah (Kompas.com, 17 Juli 2022).
Sebuah kontras yang menuntut penelitian lebih jauh mengapa ironi ini terjadi.
Yang jelas, UU nomor 1/2020 yang mengalihkan APBN untuk penanganan pandemi, lebih banyak menguntungkan penguasa dan pemilik modal, namun sedikit saja dinikmati oleh kelompok miskin yang kebijakannya lebih karitatif berupa bantuan sosial daripada memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, dan politik.
Disinyalir juga bahwa banyak pejabat negara yang diuntungkan pula dari bisnis PCR dan vaksin.
Di tengah kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat akibat struktur ekonomi yang timpang, kebijakan ekonomi yang tidak berpihak, antara lain terjadinya kenaikan BBM dan bahan pokok serta akibat pandemi berkepanjangan, pemerintah dan DPR malah mengeluarkan UU Cipta Kerja yang dikenal sebagai Omnibus Law, UU Pemindahan dan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta UU Minerba yang lebih memfasilitasi kelompok pengusaha daripada memberdayakan masyarakat luas, khususnya masyarakat adat dan masyarakat terdampak pembangunan, masyarakat marginal, kaum buruh, tani, dan nelayan, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Pemerintah dan DPR bahkan tidak patuh kepada putusan MK yang memerintahkan agar tidak memberlakukan Omnibus Law dan dalam 2 tahun harus mengubahnya agar lebih partisipatif dalam proses nya dan memenuhi standar HAM dalam isi pasal-pasalnya.
Pemerintah dan DPR sangat cepat merespons dan membuat sebuah UU jika menguntungkan penguasa dan pemilik modal, namun sangat lamban jika berkaitan dengan kelompok rentan seperti pekerja rumah tangga (PRT) yang rancangan UU nya sudah diajukan oleh masyarakat sipil sejak 19 tahun yang lalu dan pada bulan Maret 2022 sudah disetujui Baleg DPR, namun belum juga diagendakan dalam sidang paripurna untuk dibahas.
Dalam melahirkan KUHP baru, pemerintah dan DPR meski menyatakan bahwa KUHP Nasional ini bermaksud menggantikan KUHP warisan pemerintah kolonial yang dianggap represif, namun dari segi asas pokok hukum pidana, yakni asas legalitas dan asas melindungi kepentingan umum, khususnya terkait dengan penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, dan pejabat publik serta pengaturan moralitas, seksualitas, dan tubuh perempuan telah melanggar asas kepentingan umum tersebut.
Dengan memberlakukan asas living law (adat, budaya dan tradisi setempat) maka hak dan kebebasan berekspresi dan hak privasi menjadi sangat terancam.
Para pembentuk UU tampaknya mengadopsi ide pengaturan seksualitas dan moralitas masyarakat yang telah diadopsi oleh kurang lebih 420 Peraturan perundangan-undangan di tingkat daerah (perda) yang selama ini diabaikan begitu saja oleh pemerintah cq Menteri Dalam Negeri meski telah lama dikritik oleh banyak pihak sebagai melanggar konstitusi dan hukum nasional lainnya.
Dalam KUHP yang baru, ide dasar perda-perda tersebut tidak hanya diadopsi, tapi bahkan secara hukum diperkuat pemberlakuannya (penjelasan pasal 1) meski dalam KUHP kewenangan mengadu diletakkan kepada keluarga (suami/istri serta orang tua atau anak) dan tidak lagi diberikan kepada komunitas atau tokoh masyarakat sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan di tingkat daerah tersebut.
Mencermati hal ini, Aliansi Perempuan Bangkit melihat adanya bahaya serius yang mengancam prinsip-prinsip negara hukum, HAM, dan Demokrasi sehingga tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial, gender, dan ekologi makin jauh dari cita-cita kemerdekaan.
Sementara KKN tampak semakin merajalela sehingga memperlihatkan bahwa pemerintah saat ini tidak amanah terhadap mandat reformasi 98 dan konstitusi. Hal ini terbukti dari lambatnya kenaikan index negara hukum Indonesia yang hanya 0,01 persen (World Justice Project 2022).
Sedangkan menurut Global Democracy Index, demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja (flawed democracy).
Karena itu ide penguasa dan pendukungnya untuk menunda Pemilu dan memperpanjang jabatan presiden selain bertentangan dengan konstitusi juga sudah pasti tidak berkontribusi pada perbaikan kualitas demokrasi dan rule of law di Indonesia.
Index korupsi Indonesia menunjukkan tren memburuk pada tahun 2020, karena turun dari 40 pada tahun 2019 menjadi 37, meski naik menjadi 38 pada tahun 2021.
Secara global kita masih di bawah skor rerata (43). Negara-negara dengan skor di bawah 50 pada umumnya adalah negara dengan tingkat korupsi yang mengakar dan sistemik.
Alih-alih melakukan ancaman pemberatan hukuman, pemerintah dan DPR dalam KUHP baru justru melakukan peringanan hukuman.
Kelompok perempuan adalah kelompok yang paling dirugikan oleh praktik korupsi ini meski hal ini merupakan fenomena global.
Korupsi juga menjadi sarana atau jalan masuk bagi kejahatan-kejahatan lain yang korbannya perempuan.
Dalam studi tentang trafficking terhadap perempuan di Sulawesi Selatan, praktik korupsi terbukti melicinkan atau melancarkan praktek trafficking. Misalnya melalui praktik suap dalam pemalsuan data kependudukan.
Yang sangat mencemaskan adalah maraknya praktik sextortion di Indonesia. Penyalahgunaan kewenangan publik melalui pemerasan/pemaksaan untuk mendapatkan kenikmatan seksual (sextortion) banyak terjadi di Indonesia.
Menurut survei Transparency International dalam Global Corruption Barometer 2021, Indonesia adalah negara dengan kejadian sextortion tertinggi di Asia.
Aliansi Perempuan Bangkit mengusulkan berbagai perubahan dan perbaikan, terutama pengesahan kebijakan yang tertunda, penundaan atau pembatalan kebijakan yang tidak tepat, juga pelibatan aktif perempuan, kelompok marjinal, dan masyarakat sipil dalam semua proses kebijakan dari awal sampai pengawasan, agar ancaman dan bahaya yang disampaikan di atas bisa segera diatasi dengan komprehensif oleh pemerintah bersama pelaku usaha dan masyarakat.
Berdasarkan alasan-alasan diatas Aliansi Perempuan Bangkit menuntut:
Pertama, agar pemerintah dan DPR menghentikan produksi berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang menegasikan hak asasi rakyat dan tidak memberdayakan masyarakat secara sosial ekonomi dan budaya baik dalam prosesnya yang tidak partisipatif maupun materi pokoknya seperti misalnya dalam membahas dan mengesahkan KUHP, Omnibus Law, dan UU Minerba serta tidak memperhatikan hak masyarakat atas lingkungan dan sumber daya alam serta mengabaikan hak masyarakat adat.
Dalam kaitan ini Aliansi Perempuan Bangkit mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan UU Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Kedua, Aliansi Perempuan Bangkit sangat berkeberatan dan memprotes keras terhadap ketentuan dalam KUHP tentang akan diberlakukannya hukum adat dan tradisi setempat (living law).
Beragamnya tradisi, adat, dan nilai 330 suku yang ada di Indonesia akan menimbulkan banyak komplikasi dalam pelaksanaan dan pembuktiannya, dan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat pun akan sulit dicapai.
Ketentuan tersebut melanggar prinsip-prinsip negara hukum yang dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945.
Aliansi Perempuan Bangkit menentang pasal-pasal tentang penghinaan kepada Presiden, lembaga negara, dan pejabat pemerintah serta hak menyatakan pendapat (pawai, demonstrasi, unjuk rasa) karena bertentangan dengan hak berkumpul dan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 serta berbagai konvensi Internasional yang telah diratifikasi.
Demikian pula pasal-pasal yang melanggar hak privasi misalnya pasal-pasal tentang perzinahan, kohabitasi serta prinsip integritas tubuh khususnya tubuh perempuan (larangan aborsi).
Ketentuan bahwa pasal-pasal tersebut adalah delik aduan sangat bertentangan dengan tujuan utama hukum pidana, yakni menjaga kepentingan umum karena menggantungkan pelaksanaan hukum pidana pada seseorang yang merasa dirugikan dan atau yang mengadu.
Dengan demikian jelas bahwa upaya untuk menjaga kepentingan umum tersebut tidak terpenuhi.
Demikian pula dengan pasal penghinaan presiden yang juga merupakan delik aduan selain merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan upaya pembungkaman hak rakyat untuk menyatakan pendapat juga tidak memenuhi tujuan hukum pidana dan bertentangan dengan esensi kepentingan umum itu sendiri.
Aliansi Perempuan Bangkit juga merasa prihatin atas diberlakukannya pasal-pasal yang berkaitan dengan perzinahan dan kohabitasi, pemerintah dan DPR tampaknya sekedar mengadopsi ide dasar ratusan perda diskriminatif yang oleh Komnas Perempuan dan para peneliti lainnya dinyatakan sangat bertentangan dengan konstitusi, anti keragaman gender dan seksualitas, serta mengancam hak hidup dan kehidupan kelompok seksual minoritas yang merupakan warga sah NKRI.
Namun, selama ini perda-perda tersebut dibiarkan saja oleh Menteri Dalam Negeri sebagai pihak yang berwenang melakukan bureaucratic review.
Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar DPR melakukan legislatif Review penjelasan pasal 1 KUHP atas keberlakuan perda-perda ini dan mencabut atau menyatakan perda-perda ini tidak berlaku.
Ketiga, Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa akses perempuan terhadap pekerjaan yang layak sangat terbatas karena masih rendahnya pendidikan dan keterampilan mayoritas perempuan, terutama dari kelompok miskin, sedangkan perlindungan pekerja rumah tangga yang merupakan solusi bagi sempitnya lapangan kerja formal yang tersedia tidak mendapat perhatian dan perlindungan sebagai pekerjaan yang layak sesuai standar Konvensi ILO 189.
Indonesia belum meratifikasi konvensi ini sementara RUU PPRT yang telah hampir 19 tahun lalu diajukan oleh masyarakat sipil dan telah disetujui oleh Baleg DPR untuk disahkan di sidang Paripurna untuk dibahas, sampai saat ini belum juga diagendakan oleh Bamus.
Aliansi Perempuan Bangkit mengecam pihak-pihak yang menghambat proses legislasi RUU PPRT ini serta sikap-sikap feodal mereka yang abai terhadap kelompok perempuan miskin dan marginal.
Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan mendukung sikap MUI dan KUPI yang telah mengeluarkan fatwa agar segera mengesahkan RUU PPRT ini menjadi UU.
Kami juga menuntut agar PRT Indonesia di luar negeri memperoleh perlindungan maksimal sejak keberangkatan sampai kepulangan.
Aliansi Perempuan Bangkit mencermati bahwa Omnibus Law cq UU Cipta Kerja, tidak sesuai namanya karena justru memberikan legitimasi untuk memutuskan hubungan kerja dengan sewenang-wenang termasuk pemotongan upah untuk cuti hamil.
Demikian pula terkait RUU Omnibus Law Kesehatan yang akan memperbesar kontrol pemerintah terhadap profesi dan pelayanan kesehatan, karena itu Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar Omnibus Law tersebut bukan hanya direvisi, tapi harus dicabut.
Keempat, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk konsisten di dalam menghormati dan mengimplementasi hak kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan termasuk memberikan fasilitas untuk pemberian ASI yang telah dijamin dalam UU Kesehatan, termasuk menjamin para pekerja dan promotor hak kesehatan reproduksi yang dengan KUHP baru dapat dikriminalkan (pasal tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan).
Angka kematian ibu dan anak (AKI dan AKA) yang masih tinggi disebabkan karena tidak diakuinya dan tidak dipenuhinya hak kesehatan reproduksi dan seksual karena kendala moral dan norma lainnya seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah untuk mengatasinya.
Kami juga meminta DPR untuk melakukan Monitoring atas kinerja pemerintah dalam hal penurunan AKI dan AKA termasuk masih banyak terjadinya perkawinan anak yang antara lain menyebabkan anak-anak stunting.
Kelima, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk memastikan implementasi UU PKDRT, UU TPPO, UU TPKS, khususnya sikap bias aparat penegak hukum yang masih mengadopsi nilai-nilai patriarki dan tidak berpihak kepada korban.
Menteri PPA, Komnas Perempuan, dan Komnas HAM hendaknya melaksanakan mandatnya dengan baik, tidak saja untuk memonitor kapasitas aparat penegak hukum, tapi juga mengimplementasikan pasal 5 CEDAW dan mengawasi pelaksanaan konsep restorative justice yang di beberapa kasus justru memberi keuntungan kepada pelaku dan mengabaikan hak rehabilitasi korban.
Dalam kaitan UU TPKS, secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar peraturan pelaksanaannya segera diterbitkan dengan melibatkan masyarakat sipil secara aktif.
Selain itu kami menuntut pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO nomor 190 tentang Penghapusan Pelecehan dan Berbasis Gender di Dunia Kerja.
Keenam, Aliansi Perempuan Bangkit, prihatin dan mengecam keras atas menguatnya KKN secara sistemik, juga peringanan hukuman dalam KUHP, khususnya meminta agar pemerintah mengupayakan pemberantasan korupsi dengan program preventif yang lebih masif, termasuk memberi hukuman yang berat terhadap pejabat-pejabat pemerintah yang melakukan sextortion.
Ketujuh, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut negara untuk menjamin proses demokrasi dengan memastikan terselenggaranya Pemilu 2024, dengan mitigasi potensi konflik yang sudah bermunculan dan memastikan pelibatan bermakna kelompok perempuan dan kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya (masyarakat adat, disabilitas, dan lansia) dalam proses demokrasi.
Agenda lima tahunan yang telah ditetapkan konstitusi dan UU terkait harus tetap berjalan dengan berbagai kondisi, karena menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden akan menimbulkan kerugian lebih besar bagi masyarakat dan negara Indonesia.
Dalam kaitan dengan pemilu ini, Aliansi Perempuan Bangkit juga menuntut pemerintah untuk memastikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di lembaga legislatif di semua tingkatan.
Demikian pula sebagai pelaksanaan UU Partai Politik, pemerintah dan DPR harus memastikan keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif dan lembaga negara lainnya.
Kedelapan, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya-tidaknya menunda pelaksanaan pembangunan IKN dan memprioritaskan pemulihan hak-hak dasar rakyat terutama hak atas tanah, hak masyarakat adat, lingkungan hidup, serta pemulihan lingkungan dan menghentikan eksploitasi sumber daya alam, memitigasi risiko bencana akibat krisis perubahan iklim, dan pemulihan ekonomi rakyat pasca-pandemi.
Kesembilan, Aliansi Perempuan Bangkit menuntut agar pemerintah memastikan proses demokratisasi yang menghormati prinsip keadilan sosial, keadilan gender, dan ekologis, termasuk prinsip anti kekerasan dan non-diskriminasi serta menghargai pluralisme dan prinsip-prinsip HAM.
Secara khusus Aliansi Perempuan Bangkit menuntut pemerintah untuk memenuhi janji menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu dengan berpegang pada prinsip-prinsip transitional justice dan penghentian seluruh impunitas, kekerasan politik, dan eksploitasi sumber daya alam yang masih terjadi di Papua. (*)