Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengakui politik uang masih menjadi pekerjaan rumah penyelenggaraan Pemilu 2024.
Hal ini disampaikan anggota KPU RI Idham Holik dalam Rapat Koordinasi Tahunan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Kamis (19/1/2023).
Dalam kesempatan tersebut Idham menyinggung ihwal pragmatisme politik yang dianggap masih membudaya di Indonesia.
“Kenapa kampanye politik masih mahal, kenapa dalam pemilu selalu dibayar-bayari, itu kan uang yang sangat besar. Memang ada budaya yang harus kita pangkas, yakni budaya pragmatisme politik pada saat kampanye,” kata Idham dalam paparannya.
Idham menyebut ongkos kampanye yang dikeluarkan untuk satu daerah bahkan bisa lebih dari Rp 25 miliar.
Baca juga: KPU NTT Rilis 18 Nama Bakal Calon DPD RI, 10 Diantaranya Perlu Perbaikan Administrasi
Di satu sisi, Indonesia memang banyak menuai pujian dari kalangan internasional karena berhasil menyelenggarakan pemilu yang rumit hanya dalam satu hari.
Namun, di sisi lain, sejumlah studi juga mengatakan bagaimana proses elektoral ini masih dikelilingi oleh politik uang.
Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI ini juga mengungkit soal klientelisme.
Sebuah fenomena 'politik klien' yang ditandai dengan pertukaran barang dan jasa, termasuk mencakup politik patronase dan pembelian suara.
Idham juga menyinggung disertasi Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, di Australian National University (ANU) pada 2013.
Disertasi tersebut membahas, satu di antaranya bagaimana politik uang berkelindan dengan pengenalan pemilih yang minim terhadap partai politik.
Situasi ini, lanjutnya, berbeda jauh dengan keadaan di Amerika Serikat, ketika calon presiden Barack Obama memperoleh sumber biaya kampanye yang cukup besar lewat urunan dana dari warga.
“Bagi kami sebagai penyelenggara ini satu tantangan bahwa ke depan, bisakah Indonesia terlepas dari politik klientelisme atau politik uang. Dunia internasional masih mendapati politik elektoral Indonesia belum bersih,” ujar Idham.
“Ini menjadi PR kami untuk meningkatkan sosialisasi dan pendidikan politik ataupun dalam persoalan yang lebih luas,” sambungnya.
Baca juga: KPU Minta Dukcapil Lengkapi Data Masyarakat Adat Supaya Bisa Ikut Pemilu
Selain itu, Idham juga menyinggung adanya peluang pembiayaan politik berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
Maka dari itu KPU RI dengan PPATK meneken nota kesepahaman pada 2019 lalu, yang isinya mencakup pertukaran informasi untuk memastikan pemilu berintegritas.
“Karena memang ada banyak penelitian dan pemberitaan bahwa dalam politik berpotensi terjadinya moral hazard, salah satunya bagaimana terjadinya tindak pidana pencucian uang. Potensi itu ada,” ucapnya.