Sebelumnya, Sawit Watch kembali melaporkan dugaan penyerobotan hutan negara yang terjadi di Kotabaru, Kalimantan Selatan, ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Sawith Watch menduga hutan seluas 8.610 hektare di Kotabaru terjarah atas operasi perkebunan sawit, tanpa didahului persetujuan pelepasan kawasan hutan.
Dalam pelaporan ini, Sawit Watch didampingi Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity).
"Bagaimana bisa suatu korporasi berkebun di wilayah hutan dengan luasan ribuan hektar selama bertahun-tahun tanpa persetujuan KLHK," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo kepada wartawan, Kamis.
Menurut Surambo, Menteri LHK sepatutnya menanggapi temuan ini mengingat yang hilang adalah aset negara.
"Menteri patut menanggapi serius fenomena ini, hilangnya aset negara (hutan). Negara tidak boleh kecolongan terus dalam pengawasan pengelolaan SDA," ujar dia.
Denny Indrayana mengatakan, perusahaan dimaksud, melanggar sejumlah ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Di antaranya Pasal 19 huruf a, b, c, d, e, dan h jo. Pasal 21.
Keseluruhan pasal tersebut berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
"Dugaan tindak pidana korupsinya ada karena hilangnya hutan negara berdampak pada kerugian keuangan negara," terang Denny.
Ia berharap pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menunjukkan kemauan politik untuk membersihkan praktik mafia tanah di Kotabaru, Kalsel.
"Kami tetap berharap adanya political will aparat penegak hukum dan kementerian terkait untuk membongkar dan membersihkan praktik mafia atas pelanggaran pengelolaan hutan yang diuraikan dengan rinci dalam laporan ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, dugaan mafia tanah melalui penerbitan HGU di dalam kawasan hutan Kotabaru, Kalimantan Selatan ini dilaporkan oleh Sawit Watch ke Kementerian ATR/BPN pada Rabu (3/8/2022) lalu.
Temuan dugaan mafia tanah ini juga sebelumnya telah dilaporkan ke KPK, Kejaksaan dan Bareskrim Polri.
Sawit Watch menduga penerbitan HGU kepada salah satu perusahaan diperoleh tanpa adanya persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Perolehan HGU yang diterbitkan pada September 2018 silam itu dipandang problematik karena menyebabkan sekitar 8.610 hektare hutan negara hilang.