Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, merespons soal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang turun empat poin pada 2022.
Diketahui, dalam indeks disebutkan Indonesia berada pada angka 34, turun dari sebelumnya 38.
Selain itu, posisi Indonesia juga berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei.
Menurutnya, pemberantasan kasus korupsi memang sebuah politisasi.
"Pertanyaannya, ke mana politisasi itu mau dibawa? Keadilan itu jantung bangsa. Politisasi harus untuk memastikan keadilan yang utuh,” kata Margarito dalam acara Total Politik bertajuk "Persepsi Korupsi Melorot, Kinerja Pemberantasan Korupsi Disorot”, dikutip Selasa (14/2/2023).
Margarito lantas bicara soal kasus pengadaan Helikopter AW 101 yang juga mencuat dalam diskusi tersebut.
Menurutnya, ada proses hukum yang dipaksakan sejak kasus ini dimulai tahun 2017 yang lalu.
“Saya tergelitik, audit harusnya dilakukan BPKP, bukan internal KPK. KPK tidak punya kewenangan untuk melakukan audit," kata dia
Dia memahami bahwa di praperadilan sudah diakui bahwa kasus tersebut layak untuk disidangkan,
"Tapi menurut saya tetap ada masalah. Kita tidak mau ada pemberantasan korupsi yang prosesnya di luar kewenangan. Begitu hukum bobrok, habis bangsa ini," kata Margarito.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi II Wayan Sudirta.
Wayan mengatakan bahwa siapa pun yang menjadi ketua KPK tidak boleh menyimpang.
“Lemahnya integritas dan kualitas penegak hukum di bidang-bidang seperti pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Kita harus benahi. KPK juga kurang kordinasi dan supervisi. Banyak sekali kekurangan KPK yang dibahas di komisi 3. Reformasi birokrasi sudah dimulai tapi masih tertatih-tatih,” kata Wayan.
Baca juga: Pengacara: KPK Harusnya Koordinasi dengan BPK dan BPKP dalam Hitung Kerugian Negara AW-101
Merespons Wayan, Margarito berpendapat bahwa KPK mengesampingkan prinsip-prinsip proses hukum yang baik, sehingga ada kekhawatiran merugikan orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah, justru dipersalahkan karena ingin dinilai masyarakat menjalankan kinerja yang baik.
"Terkait nama baik yang tercemar karena proses hukum, suka atau tidak suka, penegakan hukum harus ditakar dengan prinsip-prinsip yang beres dulu. Jadi tidak boleh serampangan," kata dia
Namun KPK, melalui juru bicaranya Ali Fikri mengatakan hal tersebut adalah perkara teknis.
“Terkait kasus AW itu perkara teknis, dalam hal perbedaan pendapat itu hal biasa. Nanti di persidangan bisa dibuktikan,” kata Fikri.
KPK Bantah Ada 'Pesanan' Usut Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara terkait tuduhan bekerjasama dengan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
KPK dan Gatot dituduh sengaja mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU.
Tuduhan dilayangkan tim penasihat hukum Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, terdakwa dalam perkara ini.
"Kami menyayangkan pernyataan penasihat hukum terdakwa tersebut. Sebagai penegak hukum yang punya peran penting, namun narasi yang dibangunnya di luar konteks yuridis," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (7/2/2023).
Kendati demikian, Ali memastikan pihaknya tidak terpengaruh dengan pernyataan dari Pahrozi, penasihat hukum Irfan itu.
Ali memastikan penanganan perkara ini sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
"Kami tidak terpengaruh dengan tuduhan semacam itu. Hal ini sudah biasa, kami memastikan seluruh proses penegakan hukum di KPK tidak lepas dari aturan hukum yang harus ditegakkan dan semuanya dapat terukur dan diuji secara terbuka," sebut Ali.
Ali menyebut, KPK sudah memberikan kesempatan kepada Irfan dan tim kuasa hukumnya untuk memberikan pembelaan dalam proses penyidikan.
Baca juga: KPK Bantah Ada Pesanan dari Jenderal Gatot Nurmantyo Usut Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Menurutnya Irfan juga diberikan kesempatan membela di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor.
"Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis, namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri," ujar Ali.