Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Baru-baru ini ramai diberitakan penganiayaan yang dilakukan anak Ditjen Pajak.
Sang anak pejabat Pajak, Mario Dandy Satrio menganiaya anak dibawah umur bernama D (16) di Pesanggrahan, Jakarta Selatan Senin (19/2/2023) lalu.
Baca juga: GP Ansor Minta Mario si Anak Pejabat Pajak Dijerat Pasal Perencanaan Pembunuhan
Terkait hal ini, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, mengungkapkan jika kasus penganiayaan pada anak tidak sekali dua kali ini.
"Kejadian semacam ini itu banyak sekali terjadi. Ini adalah fenomena gunung es, jadi hanya sedikit bagian kecil yang muncul di permukaan. Nun jauh di bawah sana, tidak terlihat dan tidak terekspos cukup banyak," ungkapnya pada Tribunnews, Sabtu (25/2/2023).
Menurut laki-laki yang akrab disapa kak Seto itu, kasus tersebut menunjukkan jika masih ada yang perlu diperbaiki dari pendidikan anak.
"Ini semua memang menunjukkan adanya sesuatu yang masih perlu diperbaiki dari pendidikan anak-anak kita," tegasnya.
Baca juga: KPAI Kawal Proses Hukum Kasus Anak Pejabat Pajak
Oleh kak Seto disebutkan jika dalam isi pendidikan Indonesia, terdapat lima hal.
Pertama, adalah etika yang sering dilupakan. Sopan santun, saling menghormati, bisa bekerjasama dan sebagainya.
Kedua adalah estetika, berupa keindahan dalam bertutur kata, bertingkah laku, termasuk menguasai seni.
Ketiga adalah ilmu, bisa matematika, biologi dan sebagainya.
Kemudian yang keempat adalah nasionalisme. Yaitu kebanggaan sebagai anak Indonesia.
Kelima adalah kesehatan termasuk juga olahraga.
Baca juga: Mario si Anak Pejabat Pajak Suruh Korban Push Up 50 Kali Sebelum Dianiaya Hingga Tak Berdaya
Menurut kak Seto, lima hal tersebut harus diterapkan dalam sistim pendidikan Indonesia, bukan salah satunya.
"Mohon jangan terlalu menekankan hanya pada iptek yang nomor tiga, hanya pada prestasi akademik. Seolah anak sukses, hebat, pinter hanya pada bidang ilmu pengetahuan (iptek) saja," tegasnya.
Sebagian anak punya kelebihan yang berbeda seperti punya menyanyi, menggambar, teater dan sebagainya.
Sayangnya, kemampuan anak di luar ilmu pengetahuan dan teknologi kurang diapresiasi oleh orangtua.
"Ini kadang-kadang membuat sebagian anak cukup banyak frustasi. Yang merasa tidak dihargai, tidak memiliki potensi," papar Kak Seto.
Akibatnya, ada dua hal yang ditimbulkan. Pertama melawan atau sampai melakukan tindakan kekerasan.
"Untuk menunjukkan ini loh, gue itu bisa. Perhitungan saya dong. Bully teman-teman, menunjukkan kekuasaan dari ayah, orangtuanya, kekuasaan materi dan sebagainya," tutup Kak Seto.
Tindakan ini bentuk kompensasi dari kegagalan atau ketidakberdayaan karena apresiasi diri yang diterima anak berbeda.
Kedua, anak bisa saja mengambil tindakan kabur dari rumah, menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri
"Jadi banyak anak-anak yang frustasi kemudian fight, melakukan berbagai tindakan kekerasan kadang-kadang sering dianggap tidak manusiawi, kejam sebagai agresifitas frustasinya," kata Seto menambahkan.
Oleh karena itu, kak Seto menekankan pentingnya perbaikan dari pendidikan anak.