Sementara untuk tren elektabiltas Anies Baswedan yang menurun, sambung dia, lantaran positioning mantan Gubernur DKI Jakarta itu yang dinilai berlawanan dengan Presiden Jokowi.
Anies sebelumnya punya tren elektabilitas positif ketika masih berada dalam barisan Presiden Jokowi.
“Posisi Mas Anies dengan approval Pak Jokowi itu awalnya korelasinya positif.”
“Tetapi belakangan karena positioning Mas Anies yang dianggap sebagai capres antitesa, polanya mulai kebalik,” ujar Burhanudin.
Di sisi lain, Prabowo Subianto terus mengalami tren kenaikan elektabilitas.
Jika melihat kebelakang, Menteri Pertahanan itu sebelumnya kontra dengan Presiden Jokowi.
Saat berseberangan, elektabilitas Prabowo pun kontra dengan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi.
“Justru elektabilitas pak prabowo itu secara umum dari overtime itu polanya negatif, korelasinya negatif dengan approval Presiden Jokowi. Karena bagaimanapun Pak Prabowo 2 kali kan menajdi lawan Pak Jokowi, baru belakangan masuk ke pemerintahan.”
Namun sejak Prabowo bergabung ke kabinet pemerintahan Jokowi, Ketua Umum Gerindra itu mengalami peningkatan tren elektabilitas.
“Ini pula yang membuat posisi tawar elektoral Pak Prabowo meningkat, karena dia berhasil mendaptkan 2 dukungan. Satu, dari sebagian pendukung Pak Jokowi, kedua adalah dari basis lamanya,” ucap Burhanudin.
Berdasarkan data dari grafik survei Indikator Politik Indonesia dalam enam bulan terakhir, elektabilitas Ganjar yakni 35,1 persen pada Oktober 2022.
Kemudian turun menjadi 33,9 pada November 2022; naik menjadi 35,8 persen pada Desember 2022; naik jadi 37,4 pada Februari 2023, turun menjadi 36,8 pada Maret 2023, dan kembali turun menjadi 34 persen pada April 2023.
Sementara Prabowo 26,3 persen pada Oktober 2022. Kemudian turun menjadi 23,9 persen pada November 2022; naik menjadi 26,7 persen pada Desember 2023.
Lalu turun pada Februari 2023 menjadi 24,1 persen, naik menjadi 27 persen pada Maret 2023, dan kembali naik menjadi 31,7 persen pada April 2023.