Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi yang telah berusia 25 tahun dinilai gagal mewujudkan pelembagaan demokrasi karena melewatkan agenda reformasi partai politik.
Akibatnya berbagai upaya demokratisasi cenderung mentok bahkan mengalami kemunduran.
Setelah rezim orde baru runtuh, oligarki berpindah dari Soeharto beralih menguasai partai politik.
Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor dalam webinar 25 tahun reformasi yang digelar Gerakan Bersama Indonesia, Kamis (18/5/2023).
“Sekarang situasi kembali seperti orba dengan KKN-nya, bahkan dalam satu level yang lebih vulgar. Ini penyebabnya apa? ternyata kemunduran demokrasi kita seiring dengan naiknya oligarki yang sempat limbung saat Soeharto lengser, tapi mereka tahu yang akan berkuasa parpol, nah mereka pelan-pelan mendekat dan kini menguasai parpol,” kata Firman Noor.
Firman mengatakan oligarki semakin kuat dalam politik ketika ongkos politik semakin mahal dengan maraknya politik uang.
Dia mengutip catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut 82 persen calon Kepala Daerah terkait oligarki.
Bahkan menurut Mahfud MD, kata Firman Noor malah 92 persen kandidat terkait dengan cukong.
Bobroknya situasi elite politik tersebut, juga merusak kondisi masyarakat di mana publik semakin memaklumi politik uang.
“LIPI pernah meneliti, 46,7 persen responden menganggap money politics itu biasa, bahkan 40 persen mengaku terlibat. Nah ini warning karena hampir 50 persen tidak merasa aneh atau risih tapi biasa,” ungkap Firman.
Baca juga: 25 Tahun Reformasi, Indonesia Disebut Butuh Model Kepemimpinan Baru
Senada dengan Firman, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyebut partai adalah institusi demokrasi yang tertinggal untuk direformasi, terlebih dalam aspek keuangan.
“Tata kelola keuangan parpol harus dikuatkan, tidak hanya lagi bergantung figur Ketua Umum dan pemodal. Ketika parpol hanya bergantung pada Ketum untuk membiayai semua operasional parpol yang ada, semua pengambilan keputusan parpol hanya berdasarkan Ketua Umum,” ucap Fadli.
Agenda reformasi partai politik, menurut Firman harus dimulai dengan merevisi Undang-Undang no 7 tahun 2017 tentang Pemilu di mana keuangan Parpol harus bisa dipantau secara transparan dan akuntabel.
“Jika keuangan parpol dikelola secara transparan dan akuntabel, tidak bergantung pada satu dua individu oligarki, Parpol lebih leluasa mengeksplorasi ide, memperdebatkan gagasan untuk menjawab kebutuhan kebangsaan, sebaliknya otoritas partai terkunci pada satu dua orang saja, bagaimana diskursus mau terbangun?" kata Fadli.
Menurut Co-Founder Bersama Indonesia, Bachtiar Firdaus, pascareformasi, agenda pelembagaan demokrasi harus terus dilanjutkan, yaitu dengan penguatan demokrasi dari prosedural menuju substansial.
Dengan demikian akan lahir sistem rekrutmen pemimpin yang efektif. Tanpa kepemimpinan efektif indonesia tidak bisa menjadi negara maju.
“Pelembagaan kita mulai dari reformasi parpol, demokrasi internal, keuangan hingga pengkaderan parpol sehingga memunculkan pemimpin berintegritas. Sampai pada reformasi birokrasi, meluas tidak hanya di sektor publik tapi juga sektor privat,” kata Bachtiar.
Sayangnya, hal yang terjadi hari ini justru sebaliknya, partai politik cenderung melahirkan kepemimpinan yang koruptif.
Hal itu tak hanya berimbas pada banyaknya politisi yang diciduk KPK, tapi juga membuat negara tak serius melakukan pemberantasan demokrasi.
“Pemberantasan korupsi di indonesia makin jadi seremoni dan rutinitas, tidak ada pembenahan sistem secara kelembagaan yang benar-benar serius. Kita lihat hukuman jadi koruptor di indonesia sangat enak, tidak dimiskinkan, fasilitas mewah di penjara, sampai dapat remisi,” ujar Bachtiar.
Sebagai kelanjutan dari reformasi politik, menurut Stafsus Wakil Presiden Gatot Prio Utomo, perlu dilakukan reformasi birokrasi. Meski demokrasi membaik, jika birokrasi tidak dibenahi secara terarah, Indonesia ke depan akan semakin memprihatinkan.
Baca juga: Lanjutkan Cita-cita Reformasi, Ratusan Aktivis akan Dirikan Yayasan 98 Peduli
Gatot mencontohkan kasus pemborosan anggaran hingga Rp 500 Triliun yang sempat ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Kendati ia menyebut pemborosan anggaran tak sebesar itu, namun hal itu kerap terjadi akibat birokrasi yang tidak efektif.
“Bagaimana bisa mengentaskan kemiskinan hanya dari selesainya rapat? dan itu masih masuk indikator performance, bukan bagaimana persoalannya selesai. Oleh karena itu kinerjanya kita perlu benahi, antara proses perencanaan dan penganggaran tidak nyambung, bagaimana dengan turunannya? itu PR yang luar biasa besar di birokrasi,” kata Gatot.
Setelah sistem birokrasi dibenah, Gatot menegaskan perlunya pembenahan sumber daya manusia (SDM) birokrasi agar berintegritas.
“Kita boleh punya investasi teknologi yang luar biasa di birokrasi, SOP paling hebat, tools paling canggih, tapi tanpa manusia yang punya karakter yang bagus, akan sia-sia,” pungkas Gatot.