"Indikator keberhasilan strategi soft power China ini bersifat jangka panjang, berbeda jika menggunakan hard power," ungkap Tuty.
"Pendirian Institut Confusius pertama kali di Korea tahun 2004 menjadi ujung tombak penyebaran bahasa dan budaya Tiongkok.
Tahun 2013 RRT mulai menggunakan investasi dalam kerangkan Belt Road Initiative sebagai sumber pendukung diplomasi soft power-nya dan kebangkitan China di akhir abad 21 menimbulkan kecurigaan Barat," beber Tuty.
Tuty menambahkan, China juga menggunakan beberapa strategi lainnya untuk menjalankan strategi soft power-nya, antara lain, merangkul umat Islam melalui pemberian beasiswa untuk para santri di Indonesia.
Dia menilai, strategi ini tak dapat dilepaskan dari upaya Tiongkok meredam isu Hak Asasi Manusia yang menimpa penduduk Muslim di Uyghur. Sebagai hasil dari strategi ini, terdapat sebagian alumni Tiongkok menyuarakan keunggulan Tiongkok akhir-akhir ini.
Strategi soft power lainnya yang dijalankan China menurut DR Tuty adalah pendirian Konfusius Institut (disebut di Indonesia sebagai Pusat Bahasa Mandarin atau PBM) yang dalam satu dasawarsa belakangan aktif memberikan beasiswa untuk mempelajari Bahasa Mandarin.
Namun berbeda dengan strategi di atas, strategi ini kurang membuahkan hasil.
“Para siswa penerima beasiswa cenderung memanfaatkan PBM hanya untuk penguasaan bahasa agar menunjang studi atau karirnya,” ujarnya.
Citra Tiongkok di mata masyarakat Indonesia hingga kini, berdasar hasil survei yang pernah dilakukannya, tetap belum positif.
Misalnya hasil survei di 2017, persepsi publik di Indonesia masih menganggap Tiongkok sebagai ancaman bagi Indonesia. "Investasi Tiongkok yang meningkat di Indonesia juga tidak berbanding lurus dengan peningkatan citra positif Tiongkok di Indonesia," ungkap Tuty.
Tuty mengingatkan agar Pemerintah Indonesia mengawasi persebaran dan aktivitas PBM mengingat kurangnya muatan berbasis budaya dan masyarakat Indonesia dalam pengajaran mereka.
“PMB seharusnya memperbanyak muatan lokal dalam materi ajar dan aktivitasnya, sehingga manfaat kehadirannya akan lebih bisa dirasakan,” pungkasnya.
Sementara itu, terkait dengan etnis Tionghoa, Tuty mengkritisi ajakan Tiongkok agar Tionghoa menjadi jembatan bagi hubungan Tiongkok dan Indonesia.
"Ajakan ini tidak selalu ditanggapi positif oleh Tionghoa. Pernah dalam seminar ada Tionghoa yang mengatakan, 'bagaimana kalau saya tidak mau jadi jembatan?'," pungkas Tuty.