Aksi demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan reformasi terus berlanjut hingga pada 10 Maret 1998, Sidang Umum MPR menyatakan menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto sebagai presiden periode 1993-1998.
Di saat yang sama, mahasiswa menggelar Sidang Umum Tandingan yang menyatakan menolak pidato pertanggungjawaban presiden.
Namun, Soeharto tetap menjadi presiden setelah MPR kembali memilihnya pada 11 Maret 1998.
Ini adalah periode ketujuh pemerintahannya, dan pada saat itu Soeharto didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Seoharto kemudian mengumumkan Kabinet Pembangunan VII yang kemudian kembali menjadi sorotan.
Baca juga: Soroti Etika Jokowi Kumpulkan Ketum Parpol di Istana, Pengamat Singgung Beda Masa Soeharto dan SBY
Pasalnya, Soeharto memasukkan anak sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), sebagai Menteri Sosial.
Soeharto juga 'mengajak' serta salah satu rekannya, Bob Hasan, menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Penolakan terhadap Soeharto terus terjadi hingga pada aksi unjuk rasa tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisaksi tewas dalam demonstrasi.
Keempat mahasiswa yang tewas tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie.
Akibatnya, kerusuhan massal pecah pada 13 Mei 1998 di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Mendengar ada kerusuhan massal, Soeharto yang saat itu berada di Kairo, Mesir, menyatakan siap mundur secara konstitusional jika rakyat menghendaki.
Kerusuhan yang terjadi juga memaksa Soeharto pulang ke Indonesia lebih awal pada 14 Mei 1998.
Meski demikian, kerusuhan dan kekerasan massal masih terus terjadi di seluruh kota.
Di Jatinegara, Jakarta Timur, sebuah toko Matahari dibarikade dan dibakar, hingga mengakibatkan sekitar seribu orang tewas.