TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu Mahkamah Agung (MA) akan mengabulkan upaya peninjauan kembali atau PK yang diajukan kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko, kembali mencuat di awal pekan ini.
Tak tanggung-tanggung, isu tersebut langsung ditanggapi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut SBY, ada tangan politik yang ganggu Demokrat menuju 2024.
Pasalnya, SBY menilai, peninjauan kembali (PK) yang diajukan Moeldoko ke Mahkamah Agung (MA) terkait kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat sulit dikabulkan.
Moeldoko mengajukan PK atas putusan MA yang menolak kasasinya terkait keputusan pemerintah yang menyatakan kepengurusan Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang pada 5 Maret 2021 tidak sah.
"Berdasarkan akal sehat, sulit diterima PK Moeldoko dikabulkan MA karena sudah 16 kali pihak KSP Moeldoko kalah di pengadilan," ucap SBY dalam keterangan tertulis, Senin (29/5/2023).
Namun, kata SBY, jika MA memutuskan Moeldoko menang, ada kemungkinan intervensi politik dalam proses PK tersebut.
"Kalau ini terjadi, info adanya tangan-tangan politik untuk ganggu Demokrat agar tak bisa ikuti Pemilu 2024 barang kali benar. Ini berita yang sangat buruk," ucap dia.
Sebagai informasi Mahkamah Agung (MA) mulai mengadili permohonan Peninjauan Kembali/PK yang diajukan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko terkait kepengurusan DPP Partai Demokrat.
Baca juga: SBY Singgung Perubahan Sistem Pemilu Bisa Bikin Chaos Politik, Anas Urbaningrum: Jangan Bikin Gaduh
Moeldoko telah melayangkan gugatan terhadap Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Agus Harimurti Yudhoyono selaku Ketua Umum Partai Demokrat.
Dikutip dari laman kepaniteraan MA, permohonan PK Moeldoko masuk pada Senin, 15 Mei 2023 dan teregister dengan nomor perkara: 128 PK/TUN/2023.
Lalu, apa yang bisa terjadi seandainya MA mengabulkan PK Moeldoko Cs?
Ujang Komarudin, Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, mengatakan Demokrat kubu AHY akan mengalami bencana politik.
"Ini bencana bagi Demokrat dan AHY. Partai mereka dicolong dan dicuri lewat kekuatan pengadilan. Tentu ini preseden yang kurang baik bagi demokrasi, tapi di politik, mungkin saja terjadi. tidak ada yang tidak mungkin," katanya kepada Tribunnews.com, Senin (29/5/2023).
Selain itu, Ujang Komarudin menilai, diterimanya PK Moeldoko juga berdampak kepada caleg-caleg yang telah mendaftar.
"Ini jadi persoalan jika putusan MA keluar sebelum penetapan DCT (daftar calon tetap). Mereka yang mendaftar di kepengurusan AHY tentu bisa ditekan atau bahkan diganti, dimasukkan orang-orang dari kubu Moeldoko."
Ujang memprediksi, situasi di internal Demokrat bakal semrawut ketika Moeldoko dimenangkan PK-nya.
Lalu, bagaimana dengan Anies Baswedan?
"Bencana yang kita bahas di atas bukan hanya menimpa Demokrat dan AHY, juga bakal menimpa Anies Baswedan. Dia bisa batal jadi capres jika PK Moeldoko dimenangkan. Pastinya Moeldoko jika resmi menang, tidak mungkin akan mendukung Anies.
Ujang memprediksi bakal ada perlawanan dari kubu AHY jika PK Moeldoko dimenangkan.
"Namun, apa daya jika sudah diputuskan oleh pengadilan. Jika ada perlawanan atau gugatan atas putusan tersebut, pasti membutuhkan proses dan waktu yang lama. PKS dan Nasdem pasti akan membantu, tapi yang mati-matian tetap Demokrat."
Koalisi bisa bubar
Senada dengan Ujang Komarudin, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa memprediksi pencapresan Anies Baswedan bakal tertanggu, bahkan batal jika PK Moeldoko dikabulkan.
"Pasti akan terganggu dan gagal, Moeldoko kan dipastikan tidak mendukung Anies oleh karena itu Demokrat secara tidak langsung tidak lagi berada di koalisi Nasdem dan PKS," ujarnya kepada Tribunnews.com.
Soal apakah pengajuan PK ini dirancang oleh skenario politik tertentu, seperti yang diungkapkan SBY, Herry menilai hal itu sangat mungkin.
"Kecenderungannya ada karena melihat fakta-fakta politis yang kemudian memiliki relasi kekuasaan yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja."
Namun, ia meyakini, Demokrat kubu AHY tidak mungkin berdiam apalagi telah memenangkan 16 kali persidangan melawan Moeldoko.
"Termasuk persiapan partai ini untuk kontestasi di 2024 apalagi efeknya koalisi perubahan bisa terancam bubar maka Nasdem dan PKS tidak punya pilihan lain selain ikut mendukung dan membantu," tandasnya.
Berawal dari Denny Indrayana
Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana, dalam cuitannya, menyebutkan dikabulkannya PK tersebut diduga ditukar dengan kasus dugaan korupsi mafia peradilan di MA.
Saat ini, Sekretaris MA Hasbi Hasan tengah terseret atau ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara.
“PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukargulingkan dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA,” tulis Denny dalam akun Twitter, Minggu (28/5/2023)
Terbaru, Mahkamah Agung membantah tudingan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana terkait dugaan tukar guling putusan perkara peninjauan kembali sengketa Partai Demokrat dengan kasus korupsi di MA.
Baca juga: Jubir MA Sikapi Isu PK Moeldoko Bakal Dikabulkan: Mana Mungkin Putusan Bisa Ditebak-tebak
Tudingan tersebut dinilai tak berdasar karena majelis hakim untuk menangani perkara tersebut bahkan belum terbentuk.
”Berdasarkan sistem informasi administrasi perkara di MA itu, tanggal distribusi masih kosong dan majelisnya masih kosong alias belum ada. Bagaimana mungkin putusannya bisa ditebak-tebak? Tunggu saja proses di MA terkait perkara itu,” ujar Juru Bicara MA Suharto, Senin (29/5/2023).
Informasi belum adanya majelis dalam perkara PK sengketa Partai Demokrat itu diambil dari data sistem informasi administrasi perkara MA pada Senin pukul 07.00 WIB.
Suharto menanggapi kicauan Denny di Twitter yang menyatakan ”PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukar guling dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA. Jika Demokrat berhasil ”dicopet”, istilah Gus Romi PPP, pencapresan Anies Baswedan hampir pasti gagal".
Menurut Suharto, apabila tanggal distribusi perkara sudah terisi, majelis PK yang menangani perkara tersebut akan ditetapkan.
Setelah itu, majelis akan mempelajari berkas perkaranya kemudian menetapkan hari dan tanggal persidangan. Majelis akan memutus berdasarkan berkas yang dibacanya.
”Yang pasti bahwa majelisnya belum ditunjuk dan belum sidang,” ujar Suharto.