News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Normalisasi Hubungan Arab Saudi dan Israel Dinilai Akan Pengaruhi Kondisi Politik di Indonesia

Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bendera Israel berkibar di dekat Masjid Kubah Batu Al Aqsa pada 5 Desember 2017.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Penulis Monograf Prospek Normalisasi Hubungan Diplomatik Arab Saudi dan Israel yang diterbitkan Laboratorium Indonesia 2045, Broto Wardoyo, mengatakan normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi-Israel akan mempengaruhi kondisi politik di Indonesia.

Ia mengatakan tersebut di antaranya karena isu normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi-Israel tersebut akan mempengaruhi Palestina.

Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar bertajuk Prospek Normalisasi Hubungan Diplomatik Arab Saudi-Israel yang digelar Lab 45 di kanal Youtube LAB 45 pada Rabu (21/6/2023).

"Dampak bagi Indonesia yang pasti, isu-isu di Timur Tengah itu akan mempengaruhi kondisi politik kita. Apapun isunya selama bersinggungan dengan Palestina maka di Indonesia akan menjadi masalah," kata dia.

"Apalagi kalau kita lihat sebetulnya ada banyak sekali kelompok-kelompok di Indonesia yang memiliki ketertarikan terhadap isu-isu di Timur Tengah terutama isu-isu Palestina, apapun range politik mereka. Jadi ini menunjukkan bagaimana sebetulnya kita memiliki perhatian yang besar terhadap masalah-masalah di sana," sambung dia.

Dikutip dari monograf yang ditulis Broto dan tim serta diunduh dari laman lab45.id pada Kamis (22/6/2023), dijelaskan dampak bagi Indonesia tersebut terkait dengan sejumlah hal.

Pertama, hubungan Indonesia dengan Palestina memiliki sejarah yang cukup panjang.

Baca juga: 4 Orang Israel, 2 Orang Palestina Tewas dalam Serangan Balasan Hamas di Tepi Barat

Keberpihakan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina juga termanifestasikan dalam beberapa momentum dukungan politik dan kebijakan luar negeri Indonesia.

Setidaknya ada tiga faktor yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung Palestina.

Tiga faktor tersebut menurut Broto dan tim yakni solidaritas Muslim, perjuangan kemerdekaan, dan resolusi PBB yang mendukung penyelesaian konflik Palestina-Israel berdasarkan solusi dua negara, yaitu pendirian negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, berdampingan dengan negara Israel yang diakui secara internasional.

Kedua, Broto dan tim melihat bahwa pandangan Soekarno dijadikan pijakan utama sikap politik luar negeri Indonesia terhadap konflik Palestina-Israel.

Atas nama perjuangan melawan kolonialisme dan kesamaan nasib bangsa-bangsa di Asia dan Afrika tahun 1955 dalam Konferensi Asia-Afrika, tulis Broto dan tim, Soekarno menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.

Menurut Broto dan tim, Soekarno mengatakan bahwa selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.

Broto dan tim juga menampilkan lini masa penegasan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina dari waktu ke waktu dalam monograf yang ditulisnya.

Pada tahun 1984 ketika Arafat bertemu Soeharto di Istana Merdeka dan pada tahun 1988 Indonesia mengakui kemerdekaan Palestina setelah dideklarasikan di Aljazair pada tanggal 15 Oktober 1988.

Upaya Indonesia untuk mendukung Palestina terus berlanjut, pada tahun 1989 Penandatangananan Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik antara Kementerian Luar Negeri (Ali Alatas) dan Kementerian Luar Negeri Palestina (Farouq Kaddoumi) sekaligus pembukaan Kedutaan Besar Palestina di
Jakarta.

Pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid berdialog dengan Arafat dan Peres secara terpisah di Istana Negara yang ditujukan untuk mendamaikan kedua negara.

Di tahun 2012 Indonesia mendukung pengangkatan status Palestina di PBB dari yang semula berstatus entitas, menjadi non-member observer entity pada 29 November 2012.

Penegasan dukungan terhadap Palestina kemudian dinyatakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Palestina merupakan kepentingan pokok dalam kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun 2014.

Pada tahun 2022, Indonesia menginisiasi pertemuan OKI di Jeddah untuk merespons kondisi mengkhawatirkan Al-Aqsa.

Indonesia mengajak anggota OKI untuk menggunakan seluruh kanal untuk mendukung Palestina.

Di tahun 2023 Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa keikutsertaan Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia tak terkait konsistensi politik Indonesia terhadap Palestina.

Gelombang penolakan masyarakat Indonesia atas kehadiran tim nasional Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia akhirnya membuat FIFA memutuskan untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023.

"Meskipun menuai pro dan kontra di dalam negeri, tapi hal ini setidaknya membuktikan bahwa posisi politik Indonesia yang tetap tidak mengakui Israel sekaligus mengulangi sikap politik yang pernah ditunjukkan Soekarno sebelumnya yang memerintahkan tim nasional Indonesia untuk menolak bertanding melawan Israel pada kualifikasi Piala Dunia 1958," tulis Broto dan tim.

Broto dan tim juga menyebut adanya koneksi senyap antara Indonesia dan Israel yang dilakukan secara diam-diam.

Menurut Broto dan tim, koneksi tersebut tidak hanya berlaku untuk hubungan ekonomi maupun pariwisata, namun juga di bidang intelijen.

"Bahkan, tiga narasumber menegaskan bahwa beberapa pertemuan tingkat Menteri pernah diadakan oleh kedua negara dalam rangka mencari solusi atas masalah Palestina. Sifat dari pertemuan tersebut yang rahasia membuat pemberitaan mengenai hal tersebut tidak muncul di publik," tulis Broto dan tim.

Broto dan tim juga menyoroti sikap kelompok-kelompok Islam di Indonesia terhadap konflik di Timur Tengah yang tidak selalu seragam.

Meskipun mayoritas Muslim di Indonesia umumnya mendukung Palestina dan menyayangkan tindakan Israel, kata Broto dan tim, pendapat dan sikap tersebut juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pemahaman agama, politik, pengalaman pribadi, dan informasi yang diterima.

Beberapa kelompok Islam di Indonesia, tulis Broto dan tim, menganggap konflik di Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina, sebagai perjuangan umat Islam melawan agresi dan pendudukan.

Mereka, tulis Broto dan tim, melihat Israel sebagai penjajah dan penduduk asing yang tidak sah di wilayah Palestina.

Kelompok-kelompok ini, tulia Broto dan tim, menyuarakan solidaritas dengan rakyat Palestina dan mendukung perjuangan mereka untuk meraih kemerdekaan dan hak-hak mereka.

"Pada titik ini, isu agama dan solidaritas muslim menjadi variabel utama," tulis Broto dan tim.

Namun, Broto dan tim juga melihat ada juga kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang lebih moderat dan menganjurkan pendekatan dialog dan diplomasi dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah.

Mereka, tulis Broto dan tim, menekankan pentingnya negosiasi antara Israel dan Palestina serta mempromosikan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.

Kelompok-kelompok tersebut, tulis Broto dan tim, berpendapat bahwa kedua belah pihak harus saling menghormati hak asasi manusia dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

"Beberapa figur seperti Gus Dur, Dahlan Iskan, Sandiaga Uno, Luhut Binsar Pandjaitan, Yahya Staquf, Bambang Brodjonegoro, Teten Masduki dan Yenny Wahid pernah mewacanakan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dialog yang baik dan efektif hanya bisa terlaksana jika Indonesia dan Israel membuka hubungan diplomatik," tulis Broto dan tim.

Broto dan tim juga menyoroti sikap partai politik (parpol) dan organisasi rmasyarakat (ormas) di Indonesia.

Dari berbagai spektrum ideologi politik kelompok, tulis Broto dan tim, parpol dan ormas di Indonesia hampir semuanya menyatakan dukungan terhadap Palestina.

Akan tetapi, tulis Broto dan tim, hampir tidak ditemukan organisasi yang memiliki agenda programatik terkait dukungan terhadap Palestina.

"Mayoritas organisasi hanya menggunakan simbol dan indentitas Palestina yang sifatnya reaksioner, normatif dan pragmatis. Tidak sulit menemukan simbol atau bendera Palestina jika terjadi aksiaksi demonstrasi kelompok kanan konservatif di Indonesia seperti FPI, HTI dan PA 212," tulis Broto dan tim.

"Sikap paling umum dari kelompok atau ormas di Indonesia adalah reaksi dalam bentuk kecaman atau mengutuk jika terjadi insiden di Gaza, Al Aqsa atau tempat lainnya di Palestina. Meskipun begitu, tidak sedikit lembaga sosial Indonesia yang sampai saat ini aktif memberikan bantuan kemanusiaan di Palestina," sambung Broto dan tim.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini