Namun, tambahnya, yang terjadi saat ini banyak koperasi simpan pinjam yang gagal bayar. Di saat yang sama sekarang muncul BUMDes di desa-desa. Koperasi terkesan luput dari perhatian.
Menurut Martin, pada RUU Perkoperasian yang akan diajukan ini ada sejumlah pengaturan yang lebih detail seperti antara lain ada tentang koperasi syariah dan pemanfaatan sistem digital.
Martin juga berharap bila UU Perkoperasian yang baru berlaku kelak, bisa membantu penyelesaian sejumlah kasus perkoperasian yang terjadi saat ini.
Sementara Kepala Bidang Kelembagaan Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM RI, Aditya Putra mengungkapkan bahwa UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Proses pembuatan RUU Perkoperasian yang baru, ungkap Aditya, saat ini sudah melaksanakan tahap sosialisasi ke masyarakat, dan berkomunikasi antar kementerian dan lembaga terkait sejumlah kewenangan.
Baca juga: Produk UMKM Sulit Suplai Indomaret, Menteri Teten Masduki: Akibat Kapasitas Produksi Sedikit
Kehadiran RUU Perkoperasian itu, tambah dia, untuk menjawab kebutuhan masa kini dan mengantisipasi masa depan yang sarat dengan perubahan.
Selain itu, tambah dia, RUU Perkoperasian yang merupakan revisi dari UU No.25 Tahun 1992 itu, bertujuan agar koperasi setara dengan badan-badan usaha lainnya, memiliki cakupan usaha yang lebih luas dan juga meningkatkan aspek perlindungan terhadap anggotanya.
Terkait mekanisme perlindungannya, jelas Aditya, bisa dalam bentuk menghadirkan lembaga pengawas seperti OJK dan lembaga penjamin simpanan seperti LPS di perbankan.
"Jadi, nanti ada penataan aspek perlindungan terhadap anggota dan koperasi sebagai badan hukum," ujarnya.
Ekonom INDEF, Nailul Huda berpendapat dahulu koperasi adalah soko guru perekonomian nasional, tetapi sekarang masalah yang dihadapi koperasi malah bertubi-tubi.
Sejatinya, ujar Nailul, orientasi koperasi adalah gerakan ekonomi rakyat yang berasaskan kekeluargaan. Sehingga, tambah dia, koperasi merupakan bagian penting dalam membantu pemulihan ekonomi rumah tangga dan nasional.
Pola bisnis koperasi pun, menurut Nailul, banyak mengalami perubahan. Dahulu banyak koperasi memberi layanan simpan pinjam, memproduksi dan menjual sejumlah barang.
Sekarang, ungkapnya, banyak koperasi menjalankan praktik seperti lembaga investasi, bahkan terkadang investasi bodong.
Catatan INDEF, saat ini 70 persen koperasi di Indonesia merupakan koperasi simpan pinjam yang melayani permodalan untuk masyarakat yang tidak terjangkau perbankan.
Sekitar 60% koperasi beromzet di bawah Rp300 juta dan hanya kurang dari 1% yang beromzet di atas Rp5 miliar.
Lemahnya manajemen dan permodalan, rendahnya partisipasi anggota dan kapasitas koperasi serta SDM, ungkap Nailul, masih menjadi kelemahan sebagian besar koperasi di tanah air.