Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak pemerintah memberlakukan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan pihaknya menolak program yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan itu.
"Partai Buruh dan KSPI setelah mempelajari diluncurkannya program KRIS atau kelas rawat inap standar oleh BPJS Kesehatan dengan alasan perintah Undang-Undang. Partai Buruh dan KSPI menolak keras KRIS yang diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan," kata Said Iqbal, dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (22/7/2023).
Said menduga program ini diluncurkan hanya sebagai bentuk komersialisasi.
Ia menilai program KRIS dibuat sebagai instrumen pelaksanaan money follow program yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru disahkan beberapa waktu lalu oleh DPR RI.
"Jadi nyambung dengan Undang-Undang kesehatan, mandatory spending diubah dengan money follow program. Kalau dia mandatory spending berapapun biaya (berobat), BPJS akan bayar. Money follow program, berdasarkan program," ucap Said.
Baca juga: Partai Buruh Minta Pemerintah Naikkan UMP dan UMK 15 Persen pada 2024
"KRIS ini disiapkan untuk money follow program. Semua kelas sama. Dengan kelas yang sama nanti dibuat program, enggak ada kelas I, kelas II, dibikinlah standar nanti. Saya enggak tahu standarnya apa. Karena dia (Kemenkes) akan buat program dengan bahasa efisien, masa nyawa orang efisien. Kalau gitu buat apa kita punya negara? Nyawa orang aja diatur-atur. Harusnya enggak bisa," sambungnya.
Lebih lanjut, Said menuturkan lebih baik pelayanan BPJS yang harus diperbaiki daripada pemerintah meluncurkan program KRIS.
"Yang harus diperbaiki itu program BPJS. Orang enggak usah ngantri. Orang ngantri dari jam 04.00 sore untuk dapat pelayanan. Nenek-nenek, kakek-kakek, orang sakit bukan tambah sembuh, tambah sakit," ujarnya.
Sebelumnya dikutip dari Kompas.com, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan penganggaran di bidang kesehatan akan mengikuti program yang direncanakan (money follow program) pasca Undang-undang (UU) Kesehatan disahkan.
Diketahui dalam UU tersebut, pemerintah dan DPR RI sepakat menghapus anggaran wajib minimal (mendatory spending) di bidang kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Syahril menilai, mekanisme penganggaran ini akan lebih efektif untuk mempercepat program prioritas di bidang kesehatan.
Sedangkan jika dipatok sekian persen anggaran akan terbuang percuma tanpa mengintensifkan program.
"Jadi kesimpulannya adalah money follow program. Jangan dibalik, kalau dulu program follow money, berapa duit kita habiskan, enggak jelas. Sekarang saatnya kita melakukan perbaikan demi untuk kemaslahatan ke depan," kata Syahril dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (15/7/2023).