TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua majelis hakim Fahzal Hendri yang memimpin persidangan kasus korupsi pengadaan tower BTS Kominfo di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat mengklarifikasi suara yang kerap keras di persidangan.
Hakim ketua Fahzal mengungkapkan suaranya kerap keras saat memimpin persidangan bukan berarti marah, terhadap saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
"Maaf ya suara saya keras begitu bukan berati marah ya. Supaya tegas, supaya tahu apa yang saya tanyakan ke saudara tidak salah jawab," kata hakim ketua Fahzal kepada saksi Elvano di persidangan kasus korupsi tower BTS Kominfo di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023).
Kemudian ia mengingatkan suaranya yang kerap keras sebagai indikasi dirinya marah-marah.
"Jangan dikira hakimnya marah-marah," jelasnya.
Lalu ia menyinggung soal anggapan nitezen yang menilai dirinya marah saat bersuara keras di persidangan.
"Saya lihat nitezen itu pikirnya hakim itu marah. Tidak, bukan marah suaranya saja yang keras," ungkapnya.
Diketahui persidangan eks Menkominfo, Johnny G Plate terkait perkara korupsi pengadaan tower BTS kembali digelar.
Johnny G Plate dan dua terdakwa lainnya: eks Dirut BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif dan Tenaga Ahli HUDEV UI, Yohan Suryanto kembali menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kamis, (10/8/2023).
Adapun pada persidangan kali ini Jaksa Penuntut Umum rencananya akan menghadirkan empat orang saksi.
Saksi pertama pejabat pembuat komitmen PPK BAKTI, Elvano Hatorangan dan Direktur Infrastruktur BAKTI Bambang Noegroho.
Diketahui dalam perkara ini, Johnny, Anang, dan Yohan telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tower BTS bersama tiga terdakwa lainnya, yakni: Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Baca juga: Kecipratan Uang Proyek BTS Rp 2,3 Miliar, PPK Bakti Kominfo Beli Mobil, Moge, Hingga Cicil Rumah
Keenam terdakwa telah dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Teruntuk Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan juga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.