Sementara itu Ratna dari perhimpunan yang fokus pada persoalan eksil kasus 1965, Watch 65, mengapresiasi langkah penting hak-hak konstitusional untuk para eksil kini bisa pulang.
Ia juga menyampaikan perlu adanya upaya untuk menghilangkan stigma orang yang dianggap komunis, pengkhianat negara, dan menginginkan perlunya menghapus TAP MPRS No.25 tahun 1966, dan memperbaiki meluruskan sejarah 1965.
"Selain pemulihan hak, yang dialami oleh para eksil adalah soal stigma bagaimana orang yang dianggap pengkhianat negara. Stigma ini mengkriminalisasi para eksil dan keturunannya. Kalau tidak diperbaiki stigma itu akan terus ada," kata Ratna.
Selanjutnya, Sungkono, yang pada 1962 dikirim oleh pemerintah Indonesia untuk belajar Teknik Permesinan Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskow, menyampaikan harapannya.
Ia berharap penyelesaian masalah HAM berat tersebut bisa sesuai dengan janji pemerintah, bahwa usaha untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat ini bisa secara adil, secara independen, dan tuntas.
"Ini saya anggap sebagai suatu kesempatan sejarah dan penting bagi bangsa Indonesia. Saya sambut betul, ini baik sekali. Independen artinya pelaksana program ini di bawah pimpinan Pak Menko Polhukam ini tidak terikat kepada tuntutan pihak-pihak tertentu," kata Sungkono.
Pada pertemuan tersebut juga, untuk pertama kalinya, Mahfud dan Yasonna secara simbolis memberikan dokumen visa izin masuk kembali kepada salah seorang eks Mahid, Sri Tunruang.
Hadir juga pada pertemuan dengan para eks Mahid, Sesmenko Polhukam, Deputi Bidang Penegakan Hukum Kemenko Polhukam, dan Staf Khusus Menko Polhukam.
Turut hadir pula Sekjen Kemenkumham, staf khusus Menkumham, Direktur Izin Tinggal Imigrasi Kemenkumham, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (PPHAM), dan Perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).