News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sebut Tak Beralasan Menurut Hukum, MK Tolak Gugatan Soal Aturan Alur Partisipasi Publik dalam UU P3

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Hal ini terkait Pasal 96 ayat (6), ayat (8) dan ayat (9) UU P3, yang disebut Pemohon bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945.

Baca juga: BREAKING NEWS MK Tolak Gugatan Presidential Threshold 20 Persen Partai Buruh

"Permohonan Pemohon berkenan dengan Pasal 96 ayat (9) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801) tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman, dalam sidang pembacaan putusan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023).

"Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya," sambungnya.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, permohonan Pemohon berkenan dengan pengujian Pasal 96 ayat (6) dan ayat (8) UU 13/2022 tidak beralasan menurut hukum.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah terkait Pasal 96 ayat (6)dan ayat (8) UU 13/2022 telah ternyata tidak melanggar prinsip kedauatan rakyat, tidak menimbukan persoalan konstitusionalitas norma, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan pemerintahan, perlakuan yang diskriminatif dan tidak melangar hak untuk memajukan di sebagaimana didalikan oleh Pemohon. Oleh karena itu dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum," ucap Hakim Konstitusi, dalam pertimbangan hukumnya.

Baca juga: Ribuan Buruh Penuhi Kawasan Patung Kuda Jakarta Pusat, Kawal Sidang Presidential Threshold di MK

Sedangkan, untuk Pasal 96 ayat (9) UU 13/2022, menurut Mahkamah, hal demikian yang kemudian dituangkan dalam petitum Pemohon merupakan dalil dan petitun yang tidak lazim.

Terlebih, lanjutnya, bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk menetapkan ketentuan yang bersifat eksekutorial atas berlakunya suatu ketentuan pelaksana dari suatu Undang-Undang.

"Terhadap dalil dan petitum terkait Pasal 96 ayat (9) UU 13 tahun 2022 menurut Mahkamah merupakan dalil dan petitum yang tidak jelas atau kabur, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman, dalam konklusinya.

Sebagai informasi, gugatan ini diajukan oleh pemohon, Almizan Ulfa, yang merupakan pensiunan peneliti utama ASN Kementerian Keuangan.

Pemohon merasa dirugikan secara konstitusional akibat berlakunya norma ini, karena Pemohon kehilangan kesempatan untuk mendapat apresiasi dari pembentuk undang-undang. Sebab Pemohon gagal menjadi pakar atau narasumber dalam konsultasi publik tersebut.

Hal ini bersumber dari norma pada pasal a quo yang melegalisasi para pembentuk undang-undang untuk tidak melaksanakan konsultasi publilk berdasarkan norma standar yang menghadirkan pastisipasi publik yang bermakna. 

Selain itu Pemohon juga telah gagal mencerdaskan diri dan bangsa karena tidak ikut dalam konsultasi publik tersebut dan kegiatan tersebut tidak dipublikasikan baik risalah maupun seminar prosidingnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini