Diberitakan sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman, mengatakan sidang hari ini, sejatinya beragendakan mendengar keterangan dari DPR dan Presiden atau pemerintah.
Meski demikian, ia kemudian mengungkapkan, pihak DPR dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai perwakilan presiden meminta perkara ditunda.
"Sidang pleno untuk perkara nomor 78 tahun 2023, agendanya adalah untuk mendengar keterangan DPR dan kuasa presiden. Berdasarkan surat dari DPR dan juga dari Kementerian Hukum dan HAM, meminta perkara ini ditunda," kata Anwar Usman, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023).
Hakim Konstitusi Anwar Usman mengonfirmasi hal tersebut ke perwakilan presiden yang hadir langsung, di ruang sidang.
"Untuk Kuasa Presiden, benar ya (minta sidang ditunda)?" tanya Anwar.
"Ya betul Yang Mulia, karena kami belum siap memberikan keterangan presiden berdasarkan rapat antar kuasa," jawab seorang pria, selaku perwakilan presiden.
Oleh karena itu, Anwar menyatakan, sidang tersebut tak bisa dilanjutkan.
Sehingga, sidang mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah harus ditunda.
Baca juga: Haris Azhar Akui Sebut Kata Lord Luhut Hanya Terucap Lisan di Podcast, Tak Ada di Riset Akademik
"Ya, dari DPR juga begitu (minta sidang ditunda), jadi demikian ya para pemohon, sidang ini tidak bisa dilanjutkan," ucap Ketua MK itu.
"Untuk itu sidang ditunda, pada hari Senin, 9 Oktober 2023 jam 11.00 WIB, dengan agenda tetap yaitu masih mendengar keterangan DPR dan pemerintah," kata Anwar Usman.
Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji.
"Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)," dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, pada Rabu (20/9/2023).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah.
"Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah," tulis MK.