Tak hanya sejarahnya, Dr. Hendra juga menjelaskan tentang status sosial dalam evolusi perfilman.
Status Sosial
Disebutkan bahwa hal lain yang tidak kalah penting dalam evolusi perfilman di Jakarta adalah status sosial yang lebih longgar pascakemerdekaan.
Kondisi tersebut memberikan kesempatan bagi Komite Bumi Putera untuk berada di tempat yang sama dan sejajar dengan orang-orang Eropa.
Sebab sebelumnya, Bumi Putera dipaksa untuk menonton film dari belakang layar,
sedangkan bagian depan hanya boleh diisi oleh orang-orang Eropa.
Baca juga: UI Ciptakan Alat Kesehatan Portable Deteksi Penyakit Stroke
Karena itu, tidak mengherankan jika para tokoh bangsa seperti Soekarno sangat ahli dalam membaca tulisan dari belakang layar karena terbiasa dengan kondisi tersebut.
Ciri khas dari pameran sejarah adalah dapat diidentifikasi melalui keberadaan timeline yang
kronologis.
Terkait Persitiwa Politik
Asisten Kurator, Jajang Nurjaman mengatakan, periodisasi yang ditampilkan dalam pameran ini didasarkan pada peristiwa politik yang terjadi pada masa Hindia Belanda, masa Pendudukan Jepang, dan masa Republik Indonesia.
Masing-masing periode memiliki keunikan tersendiri.
“Saat pertama kali hadir di tengah masyarakat dalam bentuk bioskop keliling, pada umumnya film-film yang ditampilkan berasal dari Barat. Sebab ketika itu Bumi Putera belum memiliki kemampuan untuk memproduksi film sendiri. Begitu masuk ke zaman Jepang, film diarahkan untuk propaganda," tutur Jajang.
Kondisi tersebut akhirnya berangsur-angsur pulih setelah Indonesia merdeka, lanjutnya, sehingga film kembali pada fungsi awalnya, yaitu sebagai hiburan.
Menurut Jajang, dalam konteks genre, hingga tahun 1990-an, film bergenre horor merupakan yang paling populer di Jakarta.
Jajang menyinggung bahwa pada masa itu, terjadi penurunan performa perfilman yang
ditayangkan di Jakarta.