TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP PSI Andy Budiman angkat bicara menanggapi pernyataan wartawan senior, Goenawan Mohamad.
Seperti diketahui dan viral juga di media sosial, dalam tulisan yang tersebar di WhatsApp itu terpancar kekecewaan Goenawan Mohamad terhadap pemerintahan Jokowi yang dinilai mirip dengan Soeharto.
"Saya dulu memilih Jokowi dan bekerja agar dia menang. Tapi kini saya merasa dibodohi. Jika nanti Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang terbiasa culas, nepotisme yang menghina kepatutan, lembaga hukum yang melayani kekuasaan."
"Saya bertekad mengalahkan dan menggagalkan sandiwara ini."
"Tadinya saya mau pasif, hanya melukis dan menulis, golput. Tapi yg dipertaruhkan pilpres 2024 begitu besar — sebuah tanahair, sejumlah nilai2 kebajikan, sebuah generasi baru yg berjuta-juta. Saya putuskan utk, dlm usia lanjut ini, ikut mereka yg melawan untuk perbaikan. Mudah2an teman2 bersama saya," demikian tulisan tersebut.
Andy Budiman menanggapi hal ini dengan menyebut, dirinya masygul melihat Goenawan Mohamad yang dinilainya terlalu tergesa-gesa dalam menilai Jokowi dan langkah-langkahnya.
Berikut jawaban lengkap Andy Budiman yang diterima redaksi.
Bagaimanapun dalam pandangan saya, Jokowi mengakumulasi kekuasaan bukan untuk memperkaya diri. Kita bisa bandingkan dengan elit politik lain – yang puluhan tahun membangun dinasti – dan kini ironisnya ikut membangun opini bahwa Jokowi telah berubah dan sedang mengakumulasi kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Mengenai Gibran,
Gibran dipilih langsung oleh rakyat Solo lewat pemilu demokratis. Ia menang melalui sebuah pertandingan politik yang adil.
Tak ada catatan mengenai kecurangan dalam Pilkada Solo ketika itu. Dua tahun setelah terpilih sebagai walikota, kita justru melihat harapan pada diri Gibran.
Saya dengar tingkat kepuasan publik Solo terhadap kepemimpinan Gibran diatas 90 persen, dan itu bisa menjelaskan dengan baik apa yang selama ini ia kerjakan sebagai walikota.
Bukankah kita menginginkan pemimpin yang cakap melayani publik, membangun kota, mengelola administrasi, sambil tetap berdiri tegak mempertahankan keragaman dan hak konstitusional warga negara untuk beribadah sebagaimana ditunjukkan Gibran ketika merobek segel tempat ibadah yang dibuat kelompok intoleran?
Bukankah kualitas pemimpin seperti itu yang kita butuhkan. Tidakkah kita bisa menerima Gibran karena kualitas itu. Apakah adil menolak hak konstitusional Gibran karena dia anak seorang presiden.
Apakah kini kita mengenang Presiden John F. Kennedy sebagai orang yang membangun dinasti politik dan memperkaya diri dan keluarga karena menunjuk adiknya Robert Kennedy sebagai Jaksa Agung ketika berkuasa.