“Saya mengetahui bahwa volume pemompaan air perusahan AMDK ini tidak dikontrol dengan baik, karena mentalitas mereka yang ditanam adalah menguras air tanah untuk melayani konsumen mereka yang ada di belahan lain dunia,” kata Jeff.
Menanggapi permasalahan itu, salah seorang ahli geologi dengan asosiasi perlindungan lingkungan PREVA François-Dominique de Larouzière mengaku meragukan alasan bahwa penurunan debit air disebabkan oleh pemanasan global. Hal sama juga disampaikan oleh Hydrobiolog Christian Amblard yang juga anggota PREVA ini. Pihaknya menekankan adanya konsekuensi ekologis yang mengkhawatirkan.
“Ini merupakan hal yang tidak berlebihan untuk menganggap bahwa ini adalah awal dari berubahnya area ini menjadi gurun,” ujar Amblard dengan nada prihatin.
Mendapat protes dari organisasi lingkungan
Tak hanya yang ada di Perancis, perusahaan yang juga melebarkan sayapnya ke negara Indonesia ini juga dinilai kerap bermasalah karena mendapat protes dari organisasi lingkungan dan warga lokal tempat perusahaan itu berdiri dan mengeksploitasi sumber mata air untuk bisnis AMDKnya.
Pada 2011, perusahaan AMDK yang telah beroperasi selama 4 tahun di Indonesia ini secara mendadak mengumumkan untuk menghentikan seluruh kegiatan produksinya di Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten karena adanya aksi demo anarkis yang dilakukan oleh ribuan orang pada Desember 2010.
Aksi itu membawa sejumlah organisasi lingkungan dan warga lokal yang menuding keberadaan pabrik AMDK yang ada di kawasan tersebut berpotensi mengeringkan cadangan air bawah tanah yang juga digunakan oleh warga.
Tak berhenti disitu saja, warga yang berada di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat kerap mengeluh kesulitan untuk mendapatkan air bersih akibat dari berdirinya pabrik AMDK di kawasan itu.
Pada saat kemarau tiba, sebagian sumur milik penduduk mengalami kekeringan. Padahal menurut warga setempat, sebelumnya sumur dengan kedalaman 5 hingga 7 meter tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Tapi, sejak 2000, sumur tersebut harus kembali digali lebih dalam, paling tidak hingga 17 meter untuk mendapatkan pasokan air.
Cerita pilu juga turut dirasakan oleh warga di Polanharjo, Kabupaten Klaten. Sejak perusahaan multinasional ini beroperasi di wilayah kaya mata air tersebut pada 2002, warga banyak yang mengeluhkan kekurangan air bersih.
Sebelumnya, warga di Kecamatan Polanharjo itu mengaku kebutuhan air bersih selalu cukup untuk sehari-hari dan irigasi. Sayangnya, sejak kehadiran perusahaan air itu, warga harus menyewa pompa air untuk memenuhi kebutuhan irigasi. Sedangkan untuk kebutuhan air bersih sehari-hari, warga terpaksa harus membeli air dengan harga yang cukup mahal.