Hal tersebut bertujuan untuk mengembalikan nilai keadilan yang terciderai (restorative justice) oleh karena suatu proses yang diduga bermasalah dan inkonstitusional.
Ia menjelaskan, cara berhukum yang demikian merupakan cara dan hakikat berhukum dengan pendekatan hukum progresif.
Yakni dengan mencari makna keadilan substantif dan keluar dari model dan gaya berhukum yang cenderung bernuansa positivis legalistic-formal dengan cara memecah kebuntuan atau rule breaking akibat pemaknaan yang cenderung rigid pada Pasal 24C ayat (1) UUD.
Oleh sebab itu, Arief menilai MK dapat melakukan pengujian formil terhadap putusannya sendiri apabila terdapat situasi yang abnormal, sebagaimana yang telah diuraikannya.
Sementara itu, Arief menerangkan tiga esensi pokok cara berhukum secara progresif, yakni hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum; menolak mempertahankan status quo dalam berhukum; mengatasi hambatan dalam menggunakan hukum tertulis.
Melalui paparannya tersebut, Arief menyampaikan Mahkamah perlu melakukan judicial activism atas setiap upaya yang dapat melemahkan MK.
Namun jika tidak ada indikasi 'melemahkan MK' maka Mahkamah perlu menerapkan judicial restrain.
"Oleh karena itu, wacana untuk dapat menguji secara formil Putusan Mahkamah Konstitusi memang sengaja saya munculkan sebagai bagian dari diskursus akademis yang perlu terus dikaji dan diteliti baik oleh ahli hukum, akademisi, praktisi, maupun para pemangku kepentingan," kata Arief.
"Sekaligus menjadi pemicu agar cara berhukum kita dalam bernegara dapat lebih mengutamakan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural yang tentunya dilakukan secara proporsional dan berimbang, demi mewujudkan hukum yang berkeadilan, berkepastian, dan berkemanfaatan bagi masyarakat, karena sejatinya hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum," tuturnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas minimal usia capres/cawapres.
Sidang pembacaan putusan ini dihadiri oleh delapan hakim, kecuali Anwar Usman. Hal tersebut sesuai Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan permohonan Para Pemohon untuk tidak melibatkan adik ipar Presiden Joko Widodo itu ikut menangani Perkara 145/PUU-XXI/2023 ini.
"Dalam provisi, menolak permohonan provisi Para Pemohon," kata Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan, di Gedung MKRI, pada Selasa (16/1/2024).
"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya," sambung Suhartoyo.
Adapun dalam petitum provisi usai mengajukan perbaikan permohonan, Denny dan Zainal meminta agar MK menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109) sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PU-XXI/2023.