TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melakukan gugatan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buntut buronan Harun Masiku yang tidak kunjung disidang in absentia.
Berdasarkan berkas yang diterima Tribunnews.com dari Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, sidang perdana praperadilan bakal digelar pada 29 Januari 2024 mendatang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Sementara, gugatan praperadilan oleh MAKI teregister dengan nomor perkara 10/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Sel dan telah diajukan sejak Selasa (16/1/2024) lalu
"Perlunya hadir di persidangan nanti untuk diperiksa dalam perkara Praperadilan yang diajukan oleh pemohon terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 16 januari 2024, Nomor: 10.Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel dalam perkara antara: Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia cq Pemerintah Negara RI cq Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi," demikian tertulis dalam surat pemanggilan terhadap MAKI dari PN Jakarta Selatan dikutip pada Jumat (19/1/2024).
Lalu, menurut draf permohonan praperdilan dari MAKI, tertulis bahwa pokok perkara adalah terkait KPK yang tidak kunjung menggelar sidang in absentia terhadap Harun Masiku.
Adapun desakan ini terkait MAKI yang menilai tidak adanya perkembangan signifikan dari KPK untuk menyelesaikan perkara ini.
Padahal, Harun Masiku sudah menjadi buronan sejak 29 Januari 2020 dan pada tanggal 30 Juli 2021 juga masuk dalam daftar Red Notice Interpol.
Alhasil, MAKI menduga bahwa KPK telah melakukan penghentian penyidikan secara diam-diam.
"Padahal sekalipun Harun Masiku belum ditemukan, termohon (KPK) seharusnya melakukan pelimpahan berkas penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum pada KPK, agar dapat segera dilakukan sidang in absentia sehingga perkara dapat dituntaskan melalui persidangan dan terdapat kepastian hukum melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)," demikian petitum dari MAKI.
MAKI pun mencontohkan beberapa kasus korupsi yang tersangkanya melarikan diri, tetapi tetap disidang secara in absentia yaitu kasus korupsi APBD Kabupaten Pali Tahun 2017 dengan terdakwa mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Pali, Arif Firdaus.
Meski Arif melarikan diri, persidangan secara in absentia tetap dilakukan oleh PN Tipikor Palembang dengan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 10 bulan penjara.
Kemudian ada kasus korupsi kondensat dengan terdakwa Honggo Wendratno yang tetap disidang secara in absentia ,meski yang bersangkutan melarikan diri.
Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat pun tetap memvonis Honggo dengan 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
MAKI pun menilai, berkaca dari kedua kasus itu, sudah seharusnya KPK segera melimpahkan berkas perkara Harun Masiku ke jaksa penuntut umum (JPU) agar segera dituntaskan lewat persidangan in absentia.