Keempat aspek tersebut, kata dia, artinya harus ada upaya-upaya untuk melakukan mitigasi atau pencegahan keberulangan kejahatan kemanusiaan yang ada di Indonesia,
"Empat hal itu menurut Komite gagal atau masih belum cukup diupayakan dengan mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya menitikberatkan pada upaya ganti rugi. Itu pun dengan mekanisme yang sangat tidak representatif, asimetris, timpang," kata dia.
"Bahwa aspek pemulihan yang berusaha dilakukan oleh pemerintah Indonesia hanya fokus pada ganti rugi saja. Sementara pemulihan dalam aspek reparasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu juga harus memperhatikan komponen berkaitan dengan aspek integrasi sosial kembali, pelurusan sejarah, dan juga aspek untuk pengungkapan kebenarannya itu," sambung dia.
Bagus juga mencatat soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang juga disorot oleh Komite ICCPR.
Ia mencatat, Komite ICCPR menangkap kesan ada upaya-upaya untuk menghambat dan memperlambat penyelesaian kasus Munir.
"Pertama, dengan masih belum dibukanya dokumem penyelidikan TPF Munir yang sampai hari ini juga masih belum mampu dikeuarkan oleh pemerintah Indonesia," kata dia.
"Kedua, proses penyelesaian kasus pembunuhan Munir yang itj belum menyasar aktor intelektual. Sehingga Indonesia masih dihadapkan situasi-situasi ancaman terhadap pembela HAM dan itu masih terjadi hingga sekarang," sambung dia.
Aspek kedua yang disorot Bagus adalah perihal pelindungan pembela HAM.
Dalam hal ini, ia menyoroti secara spesifik kasus kriminalisasi aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Baca juga: TKN Sebut Komite HAM PBB Tidak Punya Bahan Pembicaraan Lagi Sampai Komentari Putusan MK
"Komite ICCPR sendiri menggarisbawahi bagaimana negara masih belum melakukan jaminan pelindungan terhadap kerja-kerja pembela HAM dan juga pembela HAM perempuan," kata dia.
"Yang pada akhirnya semakin banyak ditemukan kasus-kasus kekerasan terutama berkaitan dengan upaya pemenuhan kerja-kerja pembela HAM yang itu kontradiktif dengan kebijakan-kebijakan negara terutama kebijakan pembangunan," sambung dia.
Soal itu, KontraS mencatat dalam kurun 2023 setidaknya ada 100 lebih kasus yang menyasar kerja-kerja pembela HAM terutama yang bergerak di sektor lingkungan, jurnalis, maupun antikorupsi.
Komite, kata dia, juga menyorot soal implementasi UU ITE yang telah direvisi pada November 2023 namun masih belum ada upaya yang nyata untuk menghapus fenomena kriminalisasi dan upaya yang dapat menjerat kerja-kerja pembela HAM dalam konteks pelindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
"Komite melihat dan mengupayakan dan mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan intervensi dalam menciptakan proses pelindungan terhadap pembela HAM melalui sejumlah regulasi dan berbagai peraturan-peraturan atau kebijakan lainnya," mata Bagus.