Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah disarankan berhati-hati dan tak terburu-buru mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan, utamanya soal nasib keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pasal-pasal terkait tembakau perlu dipisahkan dari RPP Kesehatan.
Sebab selama ini, produk turunan tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Sehingga Trubus mempertanyakan relevansi pengaturan pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
“Jadi, kalau diatur di situ (RPP Kesehatan) terkait tembakau, kemungkinan akan berdampak pada industri. Seharusnya memang di dalam RPP itu tidak mengatur lebih lanjut lagi terkait tembakau. Lebih bagus dibiarkan saja sesuai undang-undangnya, yaitu terpisah,” kata Trubus kepada wartawan, Minggu (7/4/2024).
Baca juga: Turunkan Angka Perokok, Pemerintah Indonesia Diharapkan Maksimalkan Potensi Tembakau Alternatif
Selain itu, Trubus menyebut perlunya partisipasi publik secara luas dalam proses penyusunan RPP Kesehatan.
Partisipasi ini diharapkan agar pemerintah memiliki kebijakan yang terbaik bagi semua pihak, termasuk bagi industri.
"Ini akan membantu proses perumusan," terangnya.
Lebih lanjut, menurutnya hingga saat ini masih banyak pasal-pasal dalam RPP Kesehatan yang menuai perdebatan publik, termasuk pasal-pasal tembakau. Untuk itu, Trubus menyarankan pengesahan RPP Kesehatan tidak dipaksakan dikejar dalam waktu dekat.
Sementara itu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan pengaturan produk tembakau sebaiknya dipisahkan dari pembahasan RPP Kesehatan dengan pertimbangan bahwa IHT memiliki ekosistem yang berbeda secara signifikan dengan sektor kesehatan.
Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, berpendapat pasal-pasal terkait produk tembakau seharusnya diatur dalam pengaturan tersendiri sebagaimana mandat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Banyaknya larangan terhadap produk tembakau, seperti adanya pembatasan kandungan TAR dan nikotin serta pelarangan bahan tambahan, dikhawatirkan dapat menyebabkan penutupan usaha bagi anggota GAPPRI.
“Kretek yang menjadi produk anggota kami, menggunakan bahan tambahan rempah sebagai penggenap rasa. Anggota kami juga menggunakan tembakau dalam negeri yang berkadar nikotin tinggi dalam pembuatan rokok. Kalau dibatasi dan dilarang, kita lah yang terkena dampak terlebih dahulu," kata dia.
Henry juga menegaskan sebelum adanya RPP Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi.
Dari 446 regulasi yang saat ini mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan.
Atas hal itu, GAPPRI memohon pemerintah memprioritaskan upaya perlindungan IHT yang menjadi tempat bergantung bagi 6,1 juta jiwa.
"Kami mengusulkan untuk tidak dilakukan perubahan pengaturan terhadap industri produk tembakau yang berpotensi semakin memberatkan kelangsungan usaha IHT nasional," tuturnya.