News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Alami Depresi, JDN Sampaikan 3 Solusi

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Junior Doctors Network (JDN) Indonesia dr. Tommy Dharmawan, Sp.BTKV, Ph.D  bagikan tiga solusi terkait calon dokter spesialis yang alami gejala depresi. 

Sebagai informasi, baru-baru ini ramai soal data hasil survei skrining kesehatan jiwa mahasiswa peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RS vertikal per Maret 2024 dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 

Kuesioner ini dijawab oleh total 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024.  Hasilnya, 2.716 (22,4 persen) PPDS mengalami gejala depresi.  

Lalu ditemukan 3,3 persen mengalami depresi berat hingga ingin bunuh diri dan melukai diri sendiri.

Menurut Ketua JDN atau JDN Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Tommy Dharmawan, SpBTKV solusi pertama adalah memberikan gaji untuk peserta PPDS.

Baca juga: 2716 Calon Dokter Spesialis Alami Gejala Depresi, JDN Singgung Soal PPDS yang Tidak Digaji

"Solusi yang pertama memberikan gaji untuk PPDS, karena itu adalah sumber depresi mereka," ungkapnya pada konferensi pers virtual yang diselenggarakan oleh IDI, Jumat (19/4/2024). 

Menurut Tommy, memberikan gaji untuk peserta PPDS sangat penting. Karena memang peserta PPDS ada direntang usia dewasa. 

"Di mana mereka usia 30-35 tahun, sudah berkeluarga atau dewasa di dalam keluarga, sehingga memang mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari," jelasnya. 

Biaya ini bisa saja untuk mengobati anak yang sakit,  kebutuhan sehari-hari hingga pendidikan anak. 

"Bayangkan selama ini tidak dapat gaji. Bayangkan bagaimana mereka anak sakit, siapa harus membayar? Padahal di seluruh dunia, semua PPDS digaji oleh Rumah sakit tempat mereka berada," tambahnya. 

Tommy sampaikan bahwa di Indonesia  adalah satu-satu negara di dunia yang tidak memberikan gaji kepada para PPDS. 

"Padahal di dalam UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013, sudah dicantumkan bahwa pemerintah wajib memberikan gaji untuk para PPDS.  Tetapi sayang sekali hanya di Indonesia saja saat ini, negara yang tidak memberikan gaji untuk PPDS," papar Tommy. 

Kedua adalah membuat regulasi jam kerja. Saat ini, di dunia sudah memiliki jam kerja atau working hour regulation untuk para dokter. 

"Terutama untuk para PPDS, dicantumkan bahwa memang, kami juga sepakat working hour regulation dibatasi kurang 80 jam," tambahnya. 

Menurut Tommy perlu diseimbangkan, antara jam istirahat dengan jam pelayanan pada peserta PPDS. 

"Walau memang kami mengerti, PPDS perlu manusiawi, memang PPDS perlu waktu untuk belajar. Karen ini sifatnya training. Sehingga jam terbang banyak membuat PPDS lebih terlatih," kata Tommy menambahkan. 

Jam istirahat yang cukup dapat memberikan  kualitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta menghindarkan risiko mengantuk atau kesalahan saat memberikan pelayanan kesehatan. 

Ketiga adalah mengurangi beban administrasi. 

"Di beberapa rumah sakit saya kira PPDS juga dibebani beban administrasi. Misalnya mencatat jumlah operasi, mencatat jumlah data base, atau mencatat pelayanan yang perlu di-coding-kan untuk BPJS. Nah itu kan seharusnya bukan tugas PPDS," imbuhnya. 

Lebih lanjut Tommy meminta pada pemerintah untuk memberikan solusi setelah ramainya isu ini. 

"Saya kira kalau bisa ada solusi, jangan hanya isu saja. Diberikan solusinya," tutupnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini