Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut kalau presiden juga boleh berpolitik dan memihak dinilai akan menimbulkan dampak buruk berkepanjangan bagi proses demokrasi di Indonesia.
Terdekat, dampak tersebut besar akan terjadi dalam Pilkada 2024 yang bakal digelar November mendatang.
Demikian disampaikan oleh Staf Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Seira Tamara dalam diskusi bertajuk 'Dampak Kecurangan Pilpres bagi Pilkada 2024'.
"Rangkaian proses pemilu yang selanjutnya berjalan itu selanjutnya sudah bisa kita pastikan tidak akan berjalan dengan fair gitu," kata Seira dalam diskusi di Rumah Belajar ICW, Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Menurut dia, cara "kotor" Presiden Jokowi dalam Pilpres kemarin, justru menciptakan cap yang dampaknya berkepanjangan bagi proses demokrasi.
Pasalnya, Jokowi yang merupakan kepala negara dan pemerintahan memiliki beragam alat dan kekuasaan untuk bisa mengatur dan mengendalikan.
"Karena posisi presiden saat itu sebagai pucuk pimpinan kepala negara dan kepala pemerintahan dengan berbagai resource negara yang ikut di belakang nya, presiden sebagai pimpinan Angkatan Darat, Angkatan Laut."
"Tentu keberpihakan posisi dia (Jokowi) yang lebih condong kepada salah satu pihak akan rentan diikuti oleh sumber daya negara lainnya dan juga punya peluang dan potensi dalam mempengaruhi preferensi publik gitu," kata Seira.
Lebih lanjut, menurut dia, bentuk serupa besar kemungkinan kembali terjadi pada pemilu mendatang meski konsepnya tidak senada.
Paling santer kata dia, pada Pilkada 2024 mendatang, akan ada beberapa patahana kepala daerah yang akan kembali maju dalam kontestasi.
Menurut Seira, kondisi tersebut sama halnya dengan posisi Jokowi sebagai Presiden yang juga merupakan kepala negara yang memiliki seorang anak sebagai kandidat di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Dalam pencalonan di Pilkada nanti, situasi ini lengkap dengan maraknya petahana yang nanti akan mencalonkan diri," kata dia.
"Terlebih trendnya dari tahun ke tahun jumlah kandidat dalam pemilihan kepala daerah yang punya afiliasi terhadap dinasti politik di daerahnya masing-masing baik afiliasi terhadap kepala daerah sebelumnya maupun afiliasi terhadap anggota DPR maupun DPRD itu meningkat terus," tandas Seira.