Saksi Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Hermanto, menerangkan bahwa pada awalnya auditor BPK meminta Rp12 miliar.
"Apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?" tanya jaksa penuntut umum di persidangan.
"Ada. Waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan. Rp12 miliar oleh Pak Victor [Auditor BPK tadi]," jawab Hermanto.
Usut punya usut, rupanya opini WTP oleh BPK ini terganjal proyek strategis nasional Food Estate.
Berdasarkan keterangan Hermanto, terdapat beberapa temuan BPK terkait proyek tersebut, khsusunya dari sisi administrasi.
"Contoh satu temuan food estate, itu temuan kurang kelengkapan dokumen, administrasinya. Istilah di BPK itu bayar di muka dan itu belum menjadi TGR. Jadi itu ada kesempatan kita melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan" kata Hermanto.
Namun Kementan tak menyanggupi Rp12 miliar, tetapi hanya Rp5 miliar. Uang Rp5 miliar itu dipastikan diterima pihak BPK.
"Akhirnya apakah dipenuhi semua permintaan Rp12 M itu atau hanya sebagian yang saksi tahu?" kata jaksa.
"Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar mungkin enggak salah sekitar Rp5 miliar," ujar Hermanto.
Uang Rp5 miliar untuk auditor BPK itu menurut Hermanto diperoleh dari para vendor yang menggarap proyek-proyek Kementan.
Adapun yang menagihkan kepada para vendor ialah eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta.
"Itu kan saksi tahunya Pak Hatta yang urus Rp5 M itu? Pak Hatta dapat uangnya dari mana?" tanya jaksa.
"Vendor," jawab saksi Hermanto.
Dengan dibayarkannya Rp5 miliar ke BPK, tak lama kemudian Kementan memperoleh opini WTP.