Pelaut adalah pekerjaan spesial. Oleh karenanya, pendidikannya juga perlu disesuaikan dengan tantangan yang akan dihadapi di tengah laut.
“Lingkungan perairan maupun lautan bukan habitat asli manusia. Nah di sini ketika seorang manusia ingin melaksanakan aktivitas dan tampil dengan performa yang prima, maka dia harus punya perbedaan dengan orang biasanya. Wajar jika pendidikan pelayaran dilakukan berbeda dengan pendidikan pada umumnya,” bebernya.
Kolonel Laut (KH) Ahmad Rivai menyatakan, soal tindakan yang sering diterapkan di pendidikan akademi seperti STIP, di antaranya pendidikan keras. Ia mengatakan, keras itu bukan berarti tidak baik. Keras adalah kata sifat, ketika diganti menjadi kata benda yaitu kekerasan maka jelas itu salah dan tidak dibenarkan.
Baca juga: Bocor Pesan Grup WA STIP, Diduga Hendak Rekayasa Kematian Putu Akibat Serangan Jantung
“Keras itu diperlukan. Ketika di tengah lautan ada terjadi sesuatu, dia harus bertanggung jawab dan terakhir yang meninggalkan kapal,” imbuhnya mencontohkan.
Ketua Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran, Iko Johansyah menghargai niat baik Menhub Budi Karya yang menginginkan transformasi pendidikan Indonesia lebih baik, termasuk pendidikan pelayaran.
Namun, empat wacana kebijakan untuk STIP yang disampaikan beberapa waktu lalu membuat CAAIP ingin mendalami lebih jauh bersama para akademisi, praktisi pelayaran, alumni, hingga orang tua taruna. Soal moratorium penerimaan taruna STIP, Iko menyayangkan keputusan tersebut.
Sebab, banyak calon taruna yang sangat bersemangat untuk masuk ke STIP, bahkan sudah ada 463 calon taruna yang mengikuti tes. Mereka pun menjadi korban jika kebijakan tersebut diterapkan.