Demikian juga pandangan serupa dari TB Hasanuddin yang mengistilahkan obyek Vital dimasa lalu, Data sekarang adalah sangat Vital dan tampaknya Pemerintah tidak mampu mengelola semua data Viral ini. Beliau sampai menyebut kasus ini sebagai "Kebodohan Nasional".
"Bagaimana tidak, diakui oleh BSSN bahwa hanya tinggal dua persen saja data yg tersisa dari peretasan PDNs-2 minggu lalu, alias 98 persen sudah rusak terenkripsi. Secara rinci dari 239 talent yg terdampak, 30 adalah Kementerian atau Lembaga, 15 Provinsi, 148 Kabupaten dan 46 Kota yg kesemuanya tidak bisa diakses lagi. Sedangkan 5 talent yg disebut2 "pulih" (KemenkumHAM migrasi, Kemenko marves Event, Kemenag siHalal, LKPP & Kota Kediri) sebenarnya "selamat" karena masih punya Data backup-nya sendiri2 di server lama yg masih dimilikinya, alias bukan yg berada di PDNs-2 yang diserang tersebut," ujarnya.
Roy menjelaskan meski ada Cloud-storage di Batam dan PDNs-1 di Serpong & yg disebut2 diserang hanya PDNs-2 Surabaya, faktanya mostly data2 penting Republik ini bisa dikuasai oleh Hacker dan sekarang dalam kondisi terenkripsi sekaligus dimintakan tebusan senilai US$ 8 Juta (senilai Rp 132 Milyar).
Menurutnya, jika melihat aturan dalam UU No. 27/2022 tentang PDP (Perlindungan Data Pribadi) Pasal 26 & 27, seharusnya Pemerintah bertanggungjawab karena gagal dalam melakukan perlindungan data-data tersebut, alias tidak hanya bisa 'ngeles' saja dan terkesan saling lempar tanggung jawab.
Khusus untuk sikap menghadapi pihak peretas, saya memang mendukung Pemerintah untuk tidak membayar Ransom tersebut, karena pasti akan hilang uangnya dikarenakan tidak ada jaminan data dikembalikan, apalagi transaksi pasti menggunakan Crypto currency (Bitcoin) yang tidak bisa dilacak.
Baca juga: Server PDNS Dibangun dari Pajak Rakyat, Roy Suryo: Pemerintah Harus Transparan
"Sekalilagi disini saya sangat mengecam oknum yang masih mendorong pemerintah untuk mau membayarnya, sebagaiman saran si "Y" yang disebut "pakar" dari ITB pengembang SIREKAP dalam sarannya di media online mainstream kemarin. Pantas saja SIREKAP Amburadul dan menjadi alat kecurangan / kejahatan Pemilu (menurut berbagai Pakar IT independen) karena sikapnya patut dicurigai seperti ini, apalagi si "Y" ini juga sempat menjadi Saksi Ahli yg diajukan KPU dalam sidang di MK, berbahaya," katanya.
Namun meski data terenkripsi & secara fisik PDNs-2 masih di Surabaya, tidak berarti data-data tersebut aman seperti statemen Kemkominfo & BSSN yang tampak bangga sudah memutus akses PDNs-2.
"Disinilah saya mengkritisi keras statemen yang hanya "Ela Elo" saja, malah tampak santai mensimplifikasi tragedi ini, karena peretas yang berhasil masuk dan meretas system dipastikan sebelum mengenkripsi pasti sudah mengcopy semua data-data tersebut ke server miliknya guna backup bilamana ransomnya dipenuhi. Secara kronologis dia akan melakukan 4 hal berikut: 1. Akses Data, 2. Mencuri Data. 3. Enkripsi Data, dan 4. Meminta Tebusan. Dengan metode ini, peretas tidak hanya memiliki kontrol atas data yang terenkripsi tetapi juga memiliki salinan data tersebut yang dapat digunakan sebagai komoditas untuk dijual di pasar gelap," katanya.
Roy menyampaikan kesimpulannya, kasus ini adalah tragedi alias bencana besar bagi Indonesia, tidak bisa dianggap enteng apalagi dipandang sebelah mata.
Data-data publik yang sekarang dienkripsi, aslinya sudah dicuri dan siap dibocorkan sewaktu-waktu, alias menjadi Bom Waktu dikemudian hari.
"Dapat dibayangkan data tersebut meliputi data kependudukan, Kesehatan, Keuangan, bahkan Inteljen dan lain sebagainya. Seperti data-data BPJS Kesehatan, Kemenhub, KPU, INAFIS, BAIS-TNI yg sudah bocor. Jadi kalau tadi di Raker DPR disebut ada Dampak?, ini bukan lagi Minor atau Major, tetapi sudah kritis. Seharusnya penanggungjawab semua ini, yakni Menkominfo Budi Arie Setiadi Mundur sebagaimana petisi SafeNet saat ini," ujarnya.