Selain itu, kata dia, hal tersebut juga berpotensi untuk kembali memproduksi anak-anak yang harus terlibat kembali dengan situasi pekerja anak.
Baca juga: Aktivis HAM Yan Christian Warinussy Ditembak OTK, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Kapolri Beri Atensi
Berdasarkan data, pada tahun 2020 KPAI menemukan setidaknya 15 persen Anak Dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk yang merupakan PRT Anak.
Dua kasus terakhir pada tahun 2023 sampai 2024, berdasarkan catatan KPAI, menunjukkan PRT anak bukan hanya mengalami eksploitasi ekonomi, namun juga seksual dan bentuk-bentuk penyiksaan yang berakhir tanpa proses hukum karena pencabutan laporan dari orang tua atau walinya.
"Dan cash and carry hari itu bisa mereka berpotensi menjadi disabilitas, postur tubuhnya mengecil, otaknya yang mestinya berkembang untuk belajar, memikirkan justru besok ngepel, besok mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sejatinya itu menjadi tulang punggung atas pekerjaan-pekerjaan kita di ranah publik," kata dia.
Untuk itu, ia mengajak para pemangku kepentingan berpikir jernih perihal adanya kekhawatiran bila RUU PPRT akan menghabiskan uang negara melalui jaringan pengaman sosial atau kesehatan.
Padahal, kata dia, tuntutan para pembela hak-hak PRT dalam RUU PPRT tersebut sudah dengan minimalis.
"Hanya sosial ya. Dan kesehatan saya baca itu pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah lho malah dari DIM terakhir yang dibuat oleh masyarakat sipil," kata dia.
"Itu artinya bagaimana caranya pemerintah ini bisa bekera keras membagi mana yang bisa dilakukan pusat dan daerah, termasuk isu anak. Karena dia kongruen menjadi tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah. Saya kira kekhawatiran dari situasi ini tidak boleh berlarut-larut," sambung dia.
Untuk itu, ia menegaskan pihaknya dan tiga lembaga negara HAM lainnya yakni Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan Komnas Disabilitas menyatakan siap berdialog dengan pimpinan DPR dalam sisa masa sidang dua bulan ke depan.
Hal tersebut guna mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut sehingga tidak menempatkan RUU tersebut menjadi non carry over.
"Jadi kami siap berdialog dalam waktu dua bulan ke depan. Kemudian kita siap juga membahas dan siap juga untuk mendukung bahwa UU ini perlu kita sahkan," kata dia.
Perjuangan 20 Tahun Terancam Sia-Sia
Perjuangan para pembela hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) selama 20 tahun terancam sia-sia bila RUU PPRT tidak disahkan oleh anggota DPR RI pada periode 2019 sampai 2024 di masa sidang yang tersisa dua bulan ke depan.
Empat lembaga negara HAM yakni Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Disabilitas mencatat RUU tersebut akan dikategorikan sebagai RUU non-carry over atau harus dimulai kembali melalui tahap perencanaan di DPR RI periode 2024 sampai 2029.
Hal itu bisa terjadi bila tidak ada satu nomor Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disepakati pada sisa waktu periode legislatif saat ini berdasarkan ketentuan UU.
Baca juga: Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU TNI, Imparsial Sebut 5 Usulan yang Dinilai Bahayakan Demokrasi