Permata itu lantas dibawa pulang ke Indonesia. Sempat ditawarkan ke toko emas di Jakarta. Namun hanya ditaksir harganya Rp10 juta. Gazalba urung menjualnya.
"Kemudian, tahun 2000 saya ke Singapura. Kemudian saya coba datang ke toko permata, dan toko permata itu kemudian menawar. Saya kaget ketika itu dia tawar cukup tinggi, kalau saya tidak salah ya, sudah lama sekali ini, sekitar 75 ribu dolar Singapura dengan kurs pada masa itu," ujar Gazalba.
"Enggak pernah kena Imigrasi, Pak?" jaksa heran mendengar alasan Gazalba.
"Enggak perlu, Pak. Jadi, berlangsung diproses begitu saja," kata Gazalba.
Gazalba mengatakan, menerima pembayaran dolar Singapura dan Amerika dari translasi menjual pertama di Singapura.
"Singapura-nya sekitar 58 ribu lebih, saya tidak ingat lagi," kata Gazalba.
Kalau dirupiahkan berapa?" cecar jaksa.
"Saya tidak ingat lagi. Bisa lihat catatan enggak? Saya ada catatan," kata Gazalba, lalu berusaha membuka isi tasnya. "Enggak ada."
Menurut Gazalba, seluruh uang hasil penjualan permata dibawa ke Indonesia. Lalu dipinjamkan kepada seorang pengusaha tambang bernama Irvan.
"Bagaimana Saudara kenalnya sama Pak Irvan ini?" jaksa kian penasaran.
"Saya kenalnya ketika di musala mal," jawab Gazalba.
Menurutnya, pinjaman awal diberikan sesuai kesepakatan, tapi Gazalba lupa jumlahnya. Dari memberikan pinjaman ini, Gazalba mendapat untung 20–35 persen.
Keuntungan usaha pertambangan sangat besar yakni dari kerja sama dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), kerja sama dengan pihak pengangkutan (delivery), dan bekerja sama dengan perusahaan smelter.
Gazalba mengatakan, kerja sama dengan Irvan berlangsung beberapa kali. Menurutnya, keuntungan yang didapat lumayan.