"Potongan yang awalnya dilakukan tanpa persetujuan tertulis dan/atau lisan dari hakim agung, dan dikumpulkan di rekening penampungan yang diduga dikelola oleh saudara AN."
"Sehingga patut diduga adanya potongan sebesar 26,95 persen adalah perbuatan korupsi yang terjadi atas sepengetahuan pimpinan Mahkamah Agung dan merugikan para hakim agung yang berhak," tuturnya.
Sugeng juga mengatakan adanya penolakan dari hakim agung terkait pemotongan honor penanganan perkara itu.
Namun, sambungnya, diduga ada intervensi dari pimpinan MA agar para hakim agung menandatangani surat pernyataan di atas materai agar bersedia honor penanganan perkara dipotong.
Sugeng mengungkapkan, jika hal tersebut benar terjadi, maka apa yang dilakukan pimpinan MA telah melanggar peraturan perundang-undangan.
"HPP yang menjadi hak hakim agung diberikan atas dasar Pasal 13 ayat (1) huruf a, juncto Pasal 13 B ayat (1) juncto Pasal 13 C ayat (1) PP Nomor 82 tahun 2021 di mana tidak terdapat aturan pemberian kewenangan pada Sekretaris maupun pimpinan MA untuk melakukan pemotongan," ujarnya.
Diduga Pemotongan Honor Tembus Rp 97 M
Sugeng mengatakan, mengacu pada laporan tahun MA tahun 2023, jumlah perkara yang diputus sebanyak 27.365.
Jika diasumsikan pemotongan honor hakim agung sebesar 25,95 persen untuk tiap perkara dan dikalikan dengan tiga majelis hakim, maka hasilnya bisa mencapai Rp 47,9 miliar.
"Sedangkan tahun 2022 untuk perkara kasasi biasa akan diperoleh pemotongan dana honorarium penanganan perkara hakim agung sebesar Rp 49 miliar.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)