Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tetua Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Mangitua Ambarita, datang jauh-jauh dari kampungnya di Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, ke Jakarta untuk mencari keadilan terhadap warga dan wilayah adatnya yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Ia mengatakan datang ke Jakarta untuk menemui sejumlah kementerian dan lembaga negara karena merasa selama ini tak mendapatkan keadilan dari pejabat-pejabat pemerintahan di daerahnya.
Mangitua menjelaskan leluhurnya telah menguasai sebagian tanah adat di sekitar Danau Toba tersebut sejak tahun 1800-an.
Sampai saat ini, masyarakat adat yang menduduki wilayah tersebut telah mencapai 11 generasi.
Bahkan, kata dia, leluhurnya pernah melakukan perjanjian dengan Belanda yang meminjam lahan untuk kemudian ditanami pinus dengan perjanjian bila kemudian pinus dipanen maka akan dikembalikan ke masyarakat adat di Sihaporas.
Baca juga: Perempuan Adat Sihaporas Menangis Ceritakan Trauma Anak-anak terhadap Teror dari Polisi
Berdasarkan penuturan keluarga, hal itu dibuktikan dengan adanya Peta Enclave bertuliskan tahun 1916.
Peta tersebut ditemukan keluarga pada Maret 2018 saat berkunjung ke dinas Lingkungan Hidup di Simalungun.
Namun singkat cerita, ketika Indonesia merdeka, pemerintah justru memberikan izin konsensi kepada perusahaan untuk mengelola wilayah tanah adat tersebut sehingga menimbulkan tumpang tindih klaim.
Tumpang tindih klaim tersebut kemudian menimbulkan konflik antara PT TPL sejak perusahaan tersebut berdiri hingga saat ini.
Baca juga: Advokat di Simalungun Disidangkan Kasus Penganiayaan
Hingga saat ini, tidak sedikit kemudian warga masyarakat komunitas adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas menjadi korban akibat konflik tersebut.
Bahkan, berdasarkan penuturan keluarga ia pernah ditangkap pada September 2004 saat menjabat sebagai Kepala Stasi Gereja di Sihaporas.
Mangitua menuturkan tidak sedikit upaya yang telah dilakukan pihaknya untuk menuntut keadilan.
Namun, kata dia, upaya tersebut mentok di pemerintah daerah di Simalungun meskipun sebagian tokoh di sana termasuk Bupati dan anggota DPRD pernah menyatakan pengakuannya terhadap tanah adat tersebut.