"Padahal Kapolri seharusnya patut dapat menduga bahwa di dalam akun Fufufafa ada muatan yang berpotensi mengganggu Kamtibmas karena ada aspek tindak pidana ITE, sehingga publik menuntut perlakuan yang adil. Sebab itu diperlukan tindakan kepolisian secara dini menjelang pergantian Presiden dan Wakil Presiden. Namun sikap Kapolri justru membiarkan akun Fufufafa dihakimi Netizen tanpa ada penindakan terhadap pemiliknya," ujarnya.
Padahal, masih kata Petrus, sebagai cawapres terpilih di satu pihak dan jabatan Presiden Jokowi di pihak lain, secara faktual terjadi resistensi yang eskalasinya semakin luas dan bahkan mengarah kepada terjadinya krisis kepercayaan publik yang meluas terhadap pemerintah, sebagaimana akhir-akhir ini mulai muncul tuntutan agar Gibran tidak dilantik sebagai Wapres RI.
MPR Tak Lantik Gibran
Dinamika politik yang berubah dan bergeser begitu cepat, kata Petrus, membuat konstelasi dan konfigurasi politik cepat berubah hanya dalam hitungan jam sesuai kepentingan politik pihak-pihak yang tengah berebut kekuasaan.
Pada sisi lain, katanya, publik tidak ingin situasi politik yang semakin buruk akibat perilaku Presiden Jokowi dan dinastinya memperburuk citra Indonesia sebagai negara hukum yang tidak berdaya menghadapi pola kekuasaan Presiden Jokowi yang sentralistis serta merusak demokrasi dan konstitusi.
"Karena itu, dengan dukungan bukti-bukti atau fakta-fakta hukum dan fakta-fakta sosial yang sudah 'notoire feiten' (setiap hal yang sudah umum diketahui tidak lagi perlu dibuktikan), publik mulai menuntut agar MPR tidak melantik Gibran sebagai wapres, dan desakan turunkan Jokowi sebelum 20 Oktober 2024 mulai menggema lewat aksi mahasiswa di berbagai daerah beberapa waktu lalu," tukasnya.
"Secara konstitusi MPR adalah pengemban fungsi representasi rakyat, sekaligus pemegang kedaulatan rakyat. Karena itu MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan juga bukan tukang stempel Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam sengketa Pilpres 2024, melainkan memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian akhir terhadap seluruh proses dan tahapan demokratisasi yang sedang berjalan," paparnya.
Mengapa demikian? Menurut Petrus, karena MPR merupakan lembaga tinggi negara, yang oleh UUD 1945, UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan Tata Tertib MPR memberikan hak dan kewenangan kepada setiap anggota MPR dan MPR sebagai lembaga tinggi negara untuk memberikan penilai terakhir mengenai apakah capres dan cawapres terpilih pada saat pelantikan masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak.
"Jedah waktu delapan bulan pasca-Pemilu 14 Februari 2024 hingga 20 Oktober 2024, dimaksudkan oleh pembentuk UU sebagai waktu bagi MPR memantau hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan terjadi terhadap capres-cawapres terpilih. Di sinilah MPR bisa menggunakan wewenangnya membatalkan status capres-cawapres hasil Pemilu 2024, karena bisa saja dalam proses pemilu hingga proses sengketa pemilu diputus MK, terjadi pelanggaran hukum tetapi lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), MK dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diantisipasi tentang kemungkinan itu," terangnya.
Baca juga: Roy Suryo: Gara-gara Ulah Fufufafa, Ibu Pertiwi Kembali Hamil Tua
"MPR harus melihat secara jernih dan objektif bahwa hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima. Terdapat fakta yang 'notoire feiten' bahwa ketika MK bersidang, Hakim-hakim Konstitusi berada dalam pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti poitik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan konstitusi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjakankan tugas. Karena itu sangat beralasan hukum bagi MPR untuk mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran, atau setidak-tidaknya mendiskualifikasi dengan tidak melantik Gibran sebagai wapres mendampingi Prabowo Subianto," tandasnya.