"Swasta tidak harus kritis, tapi jika berbeda haluan politik dengan pemerintah yang berkuasa maka akan mengalami konsekuensi yang cukup fatal," kata Usman.
Usman menilai penyebab dari semua itu adalah penggelembungan dan penebalan kekuasaan eksekutif.
"Jadi yang lain ditiadakan. Kekuatan kontrol di parlemen dilemahkan sehingga tak ada oposisi," katanya.
Menurutnya, fenomena semacam ini harus dicegah karena dikhawatirkan Indonesia bisa berjalan dalam trajektori otoritarianisme yang baru.
"Untungnya kita masih punya Pilkada, Pilkada pun mulai meragukan bahkan untuk pertama kali selama 26 tahun Indonesia reformasi komite ahli PBB yang mengawasi governance international hak sipil dan politik pada sidang mereka dua kali berturut-turut di maret yang lalu mempertanyakan integritas pemilu Indonesia," katanya.
Makin Memburuk
Mengutip data The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks kebebasan sipil Indonesia pada tahun 2023 turun signifikan menjadi 5,29 dari indeks 6,18 pada tahun 2022.
Penilaian EUI tidak berlebihan bila melihat berbagai fakta yang ada di lapangan.
Pendiri Perempuan Hari Ini, Lusty Ro Manna Malau menceritakan, bagaimana saat menerima kekerasan dan intimidasi akibat kerja advokasi yang dilakukan masyarakat sipil.
“Beberapa organisasi di Medan pernah mendapat serangan bom molotov pasca membahas revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi serta UU Cipta Kerja,” ujar Lusty.
Kekerasan lain yang dialami oleh OMS di Medan adalah peretasan gawai, pembatasan ekspresi bagi perempuan dan minoritas gender melalui Peraturan Daerah (Perda).
Baca juga: Pilkada Jadi Sarana Pesta Demokrasi Memilih Pemimpin Daerah yang Amanah
“Sebaiknya pemerintah bisa fokus pada implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan mendukung pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta RUU Masyarakat Adat saja,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Tunggal Pawestri mengatakan, ada urgensi untuk memastikan aktivasi dan keberlanjutan kerjakerja kolektif gerakan masyarakat sipil yang terkonsolidasi dalam menghadapi kondisi ringkihnya demokrasi Indonesia saat ini.
"Pemerintah kerap berbicara soal inklusivitas dan partisipasi yang bermakna, yang menjadi prasyarat demokrasi. Tetapi, hal tersebut justru tidak muncul pada praktik demokrasi di lapangan saat ini," katanya.
Maka dari itu, kata dia gerakan rakyat seperti “Peringatan Darurat” untuk menolak revisi UU Pilkada menjadi penting.