TRIBUNNEWS.COM - Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD, membongkar modus mafia peradilan di Indonesia.
Dia menyebut hal semacam ini sudah terjadi sejak awal era Reformasi.
Mahfud mengungkapkan modus pertama yang biasanya digunakan oleh pelaku adalah menemui "orang dalam" di pengadilan.
Adapun hal ini, kata Mahfud, berkaca dari perkara suap Sekretaris MA, Hasbi Hasan dan Nurhadi.
Sebagai informasi, Hasbi Hasan menerima suap penanganan kasus perkara kasasi Koperasi Simpan Pnjam (KSP) Intidana yang bergulir di MA.
Dia pun berakhir divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Sementara, Nurhadi terbukti melakukan suap dan menerima gratifikasi terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan dan berakhir divonis enam tahun penjara.
Dia menjelaskan orang-orang seperti Hasbi Hasan dan Nurhadi ini berperan dalam mempertemukan antara orang yang berperkara dengan hakim.
"Yang ngatur orang dalam. Dia nanti yang mempertemukan (orang yang berperkara) ke hakim biasanya," katanya dalam kanal YouTube miliknya dikutip pada Rabu (30/10/2024).
Baca juga: Pensiun dari MA, Bagaimana Zarof Ricar Jadi Makelar Kasus Ronald Tannur? Mahfud MD: Mau Taubat Susah
Mahfud lalu mengungkapkan setelah adanya pertemuan tersebut, modus selanjutnya yaitu orang yang berperkara bisa untuk memilih hakim yang bakal memimpin persidangan.
"Dia nanti yang mempertemukan ke hakim biasanya. Lalu yang menunjuk hakimnya. Lalu hakimnya biasanya dipesan (oleh) orang yang berperkara."
"Saya mau minta hakim ini, ini sudah dihubungi, sudah dikondisikan. Lalu terbentuklah hakim yang sudah terkondisikan," katanya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan modus semacam ini pernah diungkap oleh seorang hakim bernama Sahlan.
Namun, Mahfud menuturkan pengungkapkan modus tersebut berujung pemecatan terhadap Sahlan.
"Dia berbicara di depan forum internasional bahwa di Indonesia ada pola begitu. Habis itu, dia pulang dipecat karena bercerita ini (terkait modus mafia peradilan)," tuturnya.
Selanjutnya, Mahfud juga mengungkapkan mafia peradilan bisa sampai memesan penyidik ke Kapolres hingga menentukan pasal yang akan disangkakan terhadapnya.
Bahkan, tak cuma hakim, mafia peradilan juga bisa menentukan jaksa.
"Kalau saya punya perkara, saya bisa titip ke Kapolres kalau di kabupaten. 'Tolong dong hakimnya, Pak, itu Pak itu'. Nanti pasalnya ini yang dituduhkan, hakimnya ini. Itu mafia," kata Mahfud.
Mahfud menuturkan pola mafia peradilan melakukan aksinya masih sama seperti yang diungkapkan oleh Sahlan di era Reformasi.
Namun, yang membuat kaget Mahfud adalah modus seperti ini sudah sampai ke tingkat Mahkamah Agung (MA).
"Polanya masih sama ini. Tapi ini tingkatnya sudah sampai ke Mahkamah Agung, lho," katanya.
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan hakim-hakim yang sudah terlanjur berurusan dengan mafia peradilan ini akan dalam kondisi tersandera.
Dia meyakini hakim-hakim tersebut sudah ditekan oleh pihak mafia peradilan agar tetap bekerjasama.
"Pasti ditekan oleh orang yang pernah lewat dia. Nggak bisa lepas mesti," ujar Mahfud.
Menurutnya, kondisi semacam itu juga terjadi terhadap eks pejabat MA, Zarof Ricar.
Seperti diketahui, Zarof Ricar ditangkap oleh Kejagung karena diduga menerima suap terkait kasasi yang diajukan oleh terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Dalam penggeledahan yang dilakukan, Kejagung menemukan uang sebesar Rp920 miliar dan emas seberat 51 kilogram.
"Untuk apa dia menyimpan uang hampir Rp1 triliun dan (menyimpan) di rumah lagi," ujar Mahfud.
Sebagai informasi, publik baru saja digemparkan dengan penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya oleh Kejagung yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindiyo buntut dugaan menerima suap dalam vonis bebas terhadap Ronald Tannur.
Adapun mereka diduga menerima suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Kejagung menyebut dalam penggeledahan terhadap kediaman ketiga hakim dan pengacara Ronald Tannur, ditemukan uang senilai Rp20 miliar.
Setelah penangkapan itu, Kejagung kembali menangkap Zarof Ricar di Bali karena dia diduga disuap terkait putusan kasasi di tingkat MA.
Penangkapan terhadap Zarof Ricar pun membuka kasus yang lebih besar di mana dia disebut sudah menjadi makelar kasus (markus) ketika menjabat sebagai pejabat di MA.
Tak tanggung-tanggung, praktek haram Zarof Ricar itu telah dilakukan selama 10 tahun yaitu dari 2012-2022.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Makelar Kasus di Mahkamah Agung