TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyidikan atas dugaan korupsi dalam impor gula periode 2015-2016.
Namun kasus impor gula ini hanya bagian kecil dari persoalan karut marut kebijakan impor di Indonesia.
Karena itu, Hardjuno mendesak pemerintah memperluas cakupan penyidikan untuk impor komoditas lain yang juga berpotensi merugikan negara, seperti beras, daging sapi, dan kedelai.
“Kejagung memang sedang melakukan penyidikan terhadap kasus impor gula tapi ini seharusnya menjadi momentum untuk mengusut lebih luas. Bukan hanya gula, tetapi juga semua impor yang berpotensi menimbulkan kerugian negara,” kata Hardjuno di Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Hardjuno yang juga kandidat doktor bidang hukum dan pembangunan di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menilai menilai, praktek impor komoditas yang merugikan negara bukan hal baru.
Praktek kotor impor ini sering kali melibatkan jaringan luas yang memanfaatkan celah dalam kebijakan impor.
“Impor beras, daging sapi, dan kedelai juga berisiko tinggi terhadap kebocoran anggaran negara. Tidak jarang, kasus seperti ini dilakukan dengan modus manipulasi harga, kuota impor, dan permainan izin,” jelasnya.
Menurut Hardjuno, dampak dari praktik impor yang tidak transparan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian nasional dan para petani.
“Impor gula, beras, dan kedelai yang berlebihan jelas memukul harga pasar komoditas lokal. Akibatnya, petani kehilangan pasar dan harga produk dalam negeri turun drastis,” ujarnya.
Untuk itu terang Hardjuni komoditas strategis seperti beras, gula, dan daging sapi seharusnya dilindungi dengan kebijakan yang komprehensif guna memastikan keberlanjutan produk dalam negeri dan menjaga stabilitas harga.
“Ketergantungan pada impor tanpa kontrol yang ketat hanya akan menambah kerentanan pangan kita. Kita perlu memperkuat ketahanan pangan dari dalam negeri,” imbuhnya.
Hardjuno menegaskan pentingnya transparansi dalam proses penyidikan dan pengambilan kebijakan terkait impor komoditas.
“Kita perlu memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan dan akuntabel. Jangan sampai ada pihak yang terlibat lolos dari jeratan hukum,” tegasnya.
Hardjuno berharap Kejagung dapat lebih tegas dalam menangani kasus-kasus serupa di masa mendatang, terutama dengan memperluas cakupan penyidikan pada komoditas lain yang berpotensi merugikan negara.
“Ini adalah kesempatan bagi Kejagung untuk membuktikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan menyeluruh, bukan hanya pada satu komoditas tertentu,” katanya.
Kasus Impor Gula yang Mengemuka
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung tengah mengusus kasus impor gula periode 2015-2016.
Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong telah ditetapkan tersangka dalam kasus ini.
Untuk diketahui, Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan Indonesia dari 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.
Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di periode pertama Presiden Joko Widodo.
Selain itu, Kejagung juga sudah menetepkan eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) inisial CS dalam perkara yang diduga merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
"Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar," ucap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton pada 2015.
Padahal, saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, menteri perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar.
Selain itu, Qohar menyatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil.
Tak hanya itu, perusahaan yang dapat mengimpor gula seharusnya hanya BUMN.
Sementara itu, CS diduga mengizinkan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor gula. PT PPI kemudian seolah membeli gula tersebut.