Kejagung Bantah Isu Politisasi
Pihak Kejagung membantah asumsi yang menyebut adanya politisasi di balik penangkapan dan penetapan tersangka Tom Lembong.Kejagung menegaskan penetapan Tom Lembong sebagai tersangka sudah sesuai prosedur.
Sebanyak 90 saksi, termasuk dua ahli telah dimintai keterangan oleh pihak Kejagung. Hal itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar.
Harli menjelaskan, saat ini pihak Kejagung masih menghitung kerugian negara akibat dugaan korupsi yang dilakukan Tom Lembong.
Ia pun mengklaim Kejagung telah mengumpulkan alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka mantan Co-Captain Timnas AMIN tersebut.
"Setidaknya sudah ada 90 saksi yang sudah diperiksa, termasuk di dalamnya 2 ahli. Sekarang sedang dihitung kerugian negara dan didalami apakah ada peran pihak lain dalam perkara ini," ujar Harli.
"Terkait dengan alat bukti harus kembali pada 184 KUHP, di situ ada keterangan saksi, keterangan ahli, ada surat, ada petunjuk, keterangan tersangka atau terdakwa."
Baca juga: Gerindra Khawatir Prabowo Dituding Lakukan Kriminalisasi di Balik Ditangkapnya Tom Lembong
Harli menegaskan pihaknya akan membuka bukti permulaan kasus ini saat persidangan. Ia pun mengimbau publik untuk tidak bersikap tendensius, terutama soal isu adanya politisasi di balik penangkapan Tom Lembong.
"Menetapkan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Dari mana bukti permulaan yang cukup? Ada 90 orang saksi yang sudah diperiksa, ada surat, ada keterangan ahli. Semua akan dibuka di persidangan," jelasnya.
Harli menegaskan, penangkapan Tom Lembong murni karena penegakan hukum.
"Masyarakat jangan menjadi tendensius, seolah-olah ada politisasi. Di mana politisasinya? Ini murni penegakan hukum," tukas Harli.
Sebagai informasi, Kejagung sebelumnya mengungkap bahwa pada 2016 lalu Tom Lembong telah menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia).
Surat tersebut berisikan tugas untuk pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Di antaranya dengan cara melakukan kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Murni impor menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton. Hal itu dilakukan karena pada tahun 2016, Indonesia disebut dalam keadaan kekurangan Gula Kristal Putih sebanyak 200.000 ton.
Kemudian Charles Sitorus yang merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI diduga melakukan kongkalikong dengan 8 perusahaan swasta dalam melakukan impor. Usai melakukan impor, delapan perusahaan swasta itu lalu mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut.
Padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi yang sebesar Rp 13.000/kg.
Kerjasama mereka itulah yang kemudian diduga merugikan negara Rp 400 miliar. Atas dasar itulah kini Kejagung masih mencoba menelusuri detail aliran dana dalam kasus impor gula ini.
"Nah, nanti itu juga bagian yang didalami, itu yang saya bilang tadi. Kenapa harus PT PPI harus membeli, lalu (dijual oleh perusahaan swasta) di atas harga HET (harga eceran tertinggi)."
"Misalnya dari 8 perusahaan itu, kan dia mendapat keuntungan. Nah, apakah misalnya ada aliran dana terhadap siapa saja? Nah, itu nanti sangat tergantung dengan keterangan yang akan berkembang," terang Harli.
Baca juga: Thomas Lembong Tambah Daftar Panjang Menteri Era Jokowi Terseret Kasus Korupsi, Total Ada 7
Harli menegaskan, hingga kini pemeriksaan Kejagung terkait kasus impor gula ini masih berlangsung. Untuk itu ia meminta publik untuk menunggu perkembangan kasus ini selanjutnya.
"Itu yang saya sebut tadi, bahwa pemeriksaan ini, kan, belum berhenti, kan, sangat terkait dengan bagaimana keterangan dari perusahaan-perusahaan ini. Nanti kita lihat lah," imbuh Harli.
Harli Siregar mengatakan saat ini pihaknya belum menutup kemungkinan adanya tersangka baru dalam kasus ini.
"Apakah akan dimungkinkan adanya tersangka baru dalam perkara ini? Itu sangat tergantung dengan apakah ada bukti permulaan yang cukup setidaknya diperoleh dari 2 alat bukti untuk menentukan seseorang menjadi tersangka atau tidak," kata Harli kepada wartawan di Kejagung, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Sejauh ini, selain Tom Lembong, penyidik Kejagung juga menetapkan eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) berinisial CS.
Lebih lanjut, Harli menyebut penyidik juga nantinya akan menentukan apakah masih membutuhkan keterangan-keterangan saksi tambahan untuk membuat terang kasus tersebut. "Setiap kemungkinan itu ada, nah tetapi tentu harus mengacu kepada hal tersebut," ungkapnya. (tribun network/tribunMedan.com/Tribunnews.com)