"Lalu yang guru itu disuruh dipecat oleh ketua yayasan. Kalau PNS, katanya pelanggaran HAM, pelanggaran Undang-undang Perlindungan Anak."
Budaya tersebut, kata Mahfud, berbanding terbalik dengan masa sekolahnya dulu.
Mahfud menceritakan, siswa dipukul atau ditegur oleh guru merupakan hal yang biasa saat itu.
"Loh saya waktu sekolah tahun 60-70an, kalau saya dipukul oleh guru karena saya melakukan kesalahan, orangtua saya malah senang," paparnya.
"Kalau saya lapor malah dimarahi, didatangi gurunya dibilang 'Pukul lagi aja, terima kasih sudah memukul anak saya, sudah mendidik'."
"Sekarang malah orangtuanya datang, gurunya yang diamuk," tandas Mahfud.
Tuntutan Jaksa kepada Supriyani Dianggap Aneh
Berbeda dari Mahfud, pakar psikologi forensik Reza Indragiri justru menganggap janggal tuntutan bebas jaksa kepada Supriyani.
Reza menilai tuntutan bebas tersebut justru merugikan sang guru.
Pasalnya, Supriyani sudah membantah segala tuduhan yang dilayangkan jaksa dalam persidangan.
"Pada satu sisi, redaksional tuntutan jaksa mencerminkan cara pandang bahwa 'actus non facit reum nisi mens sit rea' yaitu perbuatan seseorang tidak membuatnya bersalah kecuali jika terbukti adanya niat jahat."
"Pada sisi lain, terbukti atau tidaknya niat terdakwa, ia jelas akan merasa dirugikan. Pasalnya, di persidangan terdakwa bersikukuh tidak melakukan perbuatan memukul sebagaimana dituduhkan jaksa," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (12/11/2024).
Baca juga: Dibacakan Hari Ini, Judul Pledoi Supriyani Orang Susah Harus Salah, Tebalnya 188 Halaman
Reza juga menyoroti pernyataan jaksa yang menyebut Supriyani tak memiliki niat jahat saat memukul korban.
Menurutnya, pernyataan tersebut juga merugikan Supriyani karena sang guru dianggap benar-benar memukul anak Aipda WH.
"Artinya, pada dasarnya, jika dikenai hukuman, maka hukumannya adalah yang terberat. Beruntung bahwa 'mendidik' dijadikan jaksa sebagai alasan pembenar atas pemukulan tersebut," tuturnya.