Ia menambahkan, koneksi pembayaran melalui GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) maupun API (Application Programming Interface) di perbankan, sangatlah mudah.
Demikian, sambungnya, transaksi dari e-wallet ke PJP (penyedia sistem pembayaran) melemahkan E-KYC (electronic know your costumer) dan E-KYB (electronic know your bisnis).
"Ini bisa perbankan dan e-wallet tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu yang terkoneksi dalam sistem pembayaran mereka adalah merchant judi online," ungkapnya.
Berdasarkan data CBC, kata Deni, sepanjang 2017 hingga 2024, dana yang dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judi online mencapai Rp1.416 triliun.
"Di mana, perbankan mendapat Rp3.000/transaksi, e-wallet Rp1.500/transaksi dan operator seluler mendapat Rp2.500 hingga Rp5.000 per top-up," katanya.
PPATK: Sindikat Judi Online Samarkan Transaksi Pakai Kripto
Belum lama ini, Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Danang Tri Hartono, mengungkapkan dari hasil analisis mereka terdapat indikasi sindikat judi daring (online) menggunakan mata uang kripto guna menyamarkan transaksi.
"Kripto ini bukan untuk trading, tetapi memfasilitasi transaksi tindak pidana, termasuk judi online. Triliunan rupiah diprediksi dialihkan ke kripto," kata Danang dalam diskusi.
Menurut Danang, transaksi judi online kini banyak beralih ke mata uang kripto. Hal ini membuat aktivitas ilegal semakin sulit dilacak.
Danang menambahkan, dari temuan PPATK sampai kuartal III 2024, total deposit rekening masyarakat terkait judi online mencapai Rp 43 triliun.
"Deposit masyarakat ke perjudian daring pada 2023 sebanyak Rp 34 triliun. Tahun 2024 sampai kuartal III naik menjadi Rp 43 triliun. Bayangkan 10 atau 20 persen dipakai operasional, sisanya lebih dari Rp30 triliun," ujar Danang.