News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Presidential Threshold

Bivitri Susanti Ungkap Dampak Positif dan Negatif soal Dihapusnya Presidential Threshold

Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Pravitri Retno W
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (5/1/2024). Bivitri Susanti mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus aturan ambang batas atau presidential threshold (PT) untuk pemilihan presiden.

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

Dikutip dari situs resmi MK, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Hal tersebut, berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah menilai, dengan terus mempertahankan ketentuan presidential threshold dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 pasangan calon.

Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung, dengan hanya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia. 

Bahkan, bila pengaturan penentuan besaran ambang batas dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. 

Kecenderungan seperti itu, dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas presidential threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpotensi menghalangi pelaksanaan pilpres secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan paslon.

“Jika itu terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.

(Tribunnews.com/Deni) 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini