"Paling sering mendapatkan orderan melalui bell boy atau petugas hotel," kata Gendis kepada Tribun Jateng, pekan lalu.
Yang paling penting, lanjut Gendis, dengan cara bekerja tanpa mucikari, identitasnya sebagai perempuan panggilan tidak diketahui banyak orang.
"Bila ikut mami, biasanya si mami akan sering mempromosikannya, jadi mudah diketahui orang banyak," katanya.
Upaya lain agar privasinya tetap terjaga adalah, dengan cara memarkir mobilnya di tempat yang agak jauh dari hotel.
"Aku lebih sering naik taksi ke hotel. Mobil saya parkirkan di mal atau tempat lain agar tidak mudah dikenali," kata perempuan asli Semarang ini.
Cerita serupa juga diungkapkan wanita panggilan lainnya, sebut saja Lilis. Sehari-hari, perempuan asal Bandung ini tinggal di rumah kos kawasan Bukitsari, Semarang. Untuk menunjang penampilan dan kegiatan ‘bisnisnya’, Lilis pun melengkapi dengan mengendarai mobil.
Sama dengan Gendis, Lilis tidak mau sembrono mengendarai mobilnya ketika masuk ke hotel tempat kliennya menginap. Ia memilih menyewa taksi dan memarkir mobilnya di kos, atau di mal.
"Sebelumnya saya nelepon ke hotel itu, apakah sudah ada pesanan kamar atas nama tamu tersebut. Jika ada saya baru mau ke hotel itu. Sebagai imbalan, saya kasih Rp 100 ribu ke pegawai hotel," kata Lilis yang mematok tarif Rp 500 ribu sekali kencan. (tribun jateng cetak/tim)